Jakarta – TeropongRakyat.co || Dari lima figur yang dipilih Komisi III untuk memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai justru berpotensi membawa dampak buruk bagi lembaga tersebut. Pasalnya, pemilihan figur pimpinan lembaga antirasuah itu dianggap tidak didasarkan pada aspek kompetensi dan rekam jejak kandidat, namun hanya dilandasi penilaian serta selera subyektif dari anggota bidang hukum Komisi III DPR RI yang terhormat.
Aktivis 98, Kamper menilai, pemilihan pimpinan Lembaga Antirasuah berujung antiklimaks dan sangat mengecewakan. Berharap menjadi harapan bagi perbaikan bagi tatanan kelola kelembagaan dan mengembalikan marwah kepercayaan masyarakat, pemimpin yang terpilih justru diyakini sebaliknya. Bahkan, para pemimpin terpilih ini berpotensi berdampak buruk bagi kredibilitas lembaga tersebut (KPK-red).
“Mosi ketidak perayaan masyarakat sudah bisa diprediksi saat proses uji kelayakan, di mana mayoritas pertanyaan untuk melihat pandangan kandidat mengenai revisi UU KPK pada tahun 2019 dan mekanisme penindakan yang dilakukan oleh KPK tetap mengacu melalui metode operasi tangkap tangan (OTT),” ujar Kamper, kepada TeropongRakyat.co, (22/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Lebih lanjut Kamper menyayangkan, pimpinan KPK yang dipilih justru kandidat yang jawabannya sangat kontra-produktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Komisaris Jenderal Setyo Budiyanto dan Agus Joko Pramono menyebutkan bahwa KPK masih perlu mengedepankan penerapan OTT, tetapi perlu dibatasi dan selektif.
Semisal Johanis Tanak lebih parah karena secara gamblang berjanji menghapus OTT ketika dirinya terpilih kembali menjadi pimpinan. Pernyataan tersebut pun justru mendapatkan apresiasi dari para anggota Komisi III DPR. Hal ini dinilai menggambarkan kesesatan pikir dari para anggota Dewan dalam melihat penindakan pemberantasan korupsi.
“Bukan hanya aspek kompetensi, dari lima kandidat terpilih juga patut dipertanyakan. Semisal Fitroh Rohcahyanto yang menyebut revisi UU KPK pada tahun 2019 lalu tidak berdampak terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan Lembaga Antirasuah,” sambung Kamper.
Pimpinan KPK terpilih lainnya, Ibnu Basuki Widodo, juga menyebut bahwa revisi UU KPK tidak melemahkan KPK, aneh, ya aneh karena secara institusi. “Contoh mengenai penyadapan yang disebut harus dilakukan seizin Dewan Pengawas (Dewas) terlebih dahulu,” ujar Ibnu.
Didalam konteks ini, Ibnu terlihat tidak memahami aturan karena kewenangan Dewas untuk memberikan izin penyadapan sudah dibatalkan melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diputus sejak tahun 2021 lalu. “Figur pimpinan terpilih didominasi dari kluster Aparat Penegak Hukum (APH). Tak tanggung-tanggung, empat dari lima Pemimpin terpilih merupakan penegak hukum, baik aktif maupun purnatugas,” ujar Kamper
Jika mereka hanya mundur dari jabatan sebelumnya, seperti diatur dalam Pasal 29 huruf i UU KPK, mereka berpotensi memiliki loyalitas ganda. Setiap tindakan yang mereka ambil pun akan bias dengan kepentingan institusi asal. Padahal, Pasal 11 Ayat (1) huruf a Undang-Undang KPK menerangkan satu subyek dari proses hukum yang ditangani oleh KPK ialah Aparat penegak Hukum (APH).
“Yang memjadi pertanyaan besar apakah pimpinan KPK dapat bertindak obyektif dan imparsial jika pada masa mendatang KPK mengusut dugaan tindak pidana korupsi di instansi asalnya (Korps Tribrata-red) ?,”tanya Kamper.
Dalam hal ini Aktivis 98, Kamper mendesak agar pimpinan KPK terpilih yang berasal dari penegak hukum tidak hanya mengundurkan diri dari jabatannya, namun juga harus mengundurkan diri dari instansi asal, baik Kepolisian, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung.
Menurut pandangan publik, komposisi pimpinan KPK yang didominasi Aparat Negara bakal memunculkan pertanyaan, apakah mereka mampu memberantas korupsi yang melibatkan institusi asal. “Kondisi ini malah makin memperparah serta berimplikasi membangkitkan pesimisme publik terhadap penegakan hukum di negara ini khusunya korupsi di lembaga penegak hukum karena pimpinan KPK adalah penegak hukum itu sendiri.
”Semoga saja pesimisme saya salah. Yang kedua, tentu ini bisa menimbulkan dual loyalty, loyalitas ganda. Karena mereka berasal dari institusi penegak hukum, maka mereka punya espirit de corps, ini tidak bisa hilang, bahkan bagi yang sudah purna, apalagi yang masih aktif,” jelas Kamper.
“Dengan komposisi lima aparat di pimpinan KPK, Kamper menilai, DPR tidak mempertimbangkan integritas pimpinan sebagai hal penting. Mereka cenderung mengutamakan kandidat yang bisa menyenangkan hati anggota DPR. Sebab, KPK sempat dipimpin perwira polisi aktif, yakni Firli Bahuri. Akan tetapi, Firli malah melakukan jual-beli kasus dan meruntuhkan nama baik Korps Tribrata maupun KPK itu sendiri, “pungkas Kamper.
Penulis : Romli S.IP
Editor : Romli S.IP
Sumber Berita : https://teropongrakyat.co/15899-2/