Oleh: Dwi Urip Premono – Ketua Simposium Setara Menata Bangsa (SSMB)
Jakarta Selatan – Teropongrakyat co – Rabu (10/9/2025) – Pada sebuah sore tahun 1945, beberapa tokoh Kristen berkumpul di Yogyakarta. Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya, dan mereka merasa panggilan sejarah untuk ikut menjaga rumah baru bernama Republik Indonesia. Dari ruang-ruang sederhana itulah lahir Partai Kristen Indonesia (Parkindo), yang kelak tercatat sebagai salah satu partai peserta pemilu pertama di negeri ini.
“Umat Kristen tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus ikut serta membangun bangsa,” demikian pesan salah seorang tokoh Parkindo pada masa itu, yang kerap dikutip dalam catatan sejarah.
Pemilu 1955: Suara Minoritas yang Nyaring
Ketika Indonesia menggelar Pemilu 1955 – pemilu paling demokratis sepanjang era awal kemerdekaan – Parkindo dan Partai Katolik turut serta. Hasilnya mungkin tidak spektakuler dibanding partai besar seperti PNI atau Masyumi, tetapi keberadaan mereka terasa penting. Parkindo meraih delapan kursi DPR, Partai Katolik tujuh kursi.
Di ruang parlemen, suara-suara minoritas itu menjadi penyeimbang. Mereka mendorong kebijakan pendidikan, kebebasan beragama, hingga pembangunan sosial. “Partai Katolik mungkin kecil, tapi punya pengaruh moral yang besar,” tulis sebuah laporan harian Kedaulatan Rakyat kala itu.
Orde Baru: Identitas yang Dilebur
Gelombang perubahan politik terjadi setelah 1965. Di bawah Orde Baru, politik dikebiri dengan kebijakan fusi partai. Parkindo dan Partai Katolik, bersama IPKI dan Murba, dilebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada 1973.
Identitas partai Kristen hilang dalam nama, namun tidak dalam peran. Tokoh-tokoh Kristen tetap aktif di PDI, membawa aspirasi umat dalam batas yang diizinkan rezim. Mereka juga berperan dalam menjaga agar suara-suara pluralisme tidak tenggelam di tengah hegemoni Golkar.
Reformasi: PDS dan Harapan Baru
Angin reformasi 1998 kembali membuka ruang kebebasan politik. Dari euforia itu, lahir berbagai partai Kristen baru. Ada yang mencoba menghidupkan nama lama seperti Parkindo 45, ada juga partai-partai kecil Katolik. Namun yang paling menonjol adalah Partai Damai Sejahtera (PDS).
Didirikan pada 2001, PDS berhasil mengejutkan banyak pihak dengan menembus DPR lewat Pemilu 2004, meraih 12 kursi. Saat itu, partai ini tampil dengan wajah ramah dan pesan damai yang resonan dengan banyak pemilih.
“PDS adalah rumah politik bagi umat Kristen, tetapi juga terbuka bagi semua,” kata salah satu pengurusnya kala itu. Sayangnya, sinar PDS tidak bertahan lama. Pada pemilu berikutnya, mereka gagal menembus ambang batas parlemen. Sejak 2009, partai Kristen tidak lagi punya fraksi sendiri di Senayan.
Lebih dari Sekadar Kursi
Meski sering terpinggirkan secara elektoral, kontribusi partai-partai Kristen tidak bisa dipandang kecil. Mereka ikut memperjuangkan:
Kebebasan beragama dan toleransi.
Akses pendidikan dan kesehatan, sesuai tradisi panjang gereja dalam pelayanan sosial.
Hak-hak sipil dan kesetaraan warganegara
Kini, representasi politik umat Kristen banyak dijalankan lewat tokoh-tokoh yang bernaung di partai-partai besar – dari PDI Perjuangan, Golkar, hingga Demokrat. Pada era 1980-an, ada nama-nama besar, seperti Frans Seda, Harry Tjan Silalahi, atau yang lebih mutakhir, figur Kristen di kabinet dan DPR, menunjukkan bahwa keterlibatan politik umat tetap hidup meski tidak selalu dalam bendera partai Kristen.
Penutup: Jejak yang Tak Terhapuskan
Sejarah partai-partai Kristen di Indonesia adalah kisah tentang suara minoritas yang tidak pernah absen dalam membangun republik. Dari Parkindo dan Partai Katolik yang ikut mewarnai awal demokrasi, hingga PDS yang menjadi fenomena singkat pasca reformasi, mereka telah meninggalkan jejak penting.
Kini, belum ada lagi partai Kristen yang kuat berdiri di parlemen. Namun, semangat yang melatari lahirnya partai-partai itu – yakni keterpanggilan untuk ikut menjaga bangsa dan memperjuangkan keadilan bagi semua – masih tetap terasa, menembus batas nama dan wadah. Seperti dikatakan oleh salah satu tokoh Parkindo pada masa awal kemerdekaan: “Indonesia adalah rumah kita bersama. Umat Kristen akan selalu ada di dalamnya.” (DUP)