Cianjur, 9 Oktober 2025 — teropongrakyat.co – Dugaan praktik mafia tanah mencuat di Kecamatan Agrabinta, Kabupaten Cianjur. Sejumlah kepala desa diduga kuat menjadi broker dalam proyek pembebasan lahan garapan masyarakat yang berstatus tanah negara oleh pihak PT Intan.
Informasi yang dihimpun menunjukkan adanya potongan harga, manipulasi data, serta aliran dana misterius yang diduga mengalir ke sejumlah oknum.
Lima Desa Terlibat, Nilai Potongan Capai Puluhan Miliar
Hasil penelusuran di lapangan mengungkapkan, sedikitnya lima desa terlibat dalam proyek tersebut, yakni Desa Mekarsari, Bojong Kaso, Sukamanah, Bunisari, dan Mulyasari. Total luas lahan yang dibebaskan mencapai 2.350 hektare, di mana Desa Mekarsari tercatat memiliki 170 hektare dan Desa Bojong Kaso sekitar 350 hektare.
Menurut sumber terpercaya, pihak PT Intan melakukan pembayaran kepada warga penggarap sebesar Rp4.000 per meter melalui rekening masing-masing. Namun, warga hanya menerima Rp3.000 per meter, dengan selisih Rp1.000 per meter diduga dipotong oleh para kepala desa dengan alasan “biaya koordinasi” dan “kepentingan pertemuan”.
Jika dihitung dari total lahan 2.350 hektare, potongan tersebut berpotensi menghasilkan dana sekitar Rp23,5 miliar — jumlah fantastis yang diyakini mengalir ke tangan sejumlah oknum.
Dugaan Aliran Dana dan Peran Oknum
Informasi lain menyebut, dana koordinasi di tingkat bawah diduga dikelola oleh Emul Mulyana, Penjabat Kepala Desa Mekarsari.
Sementara itu, dana di tingkat atas dikabarkan mengalir ke oknum aparat penegak hukum (APH) yang dikendalikan oleh Budi Gondrong dan Eko, dua nama yang disebut warga memiliki peran penting dalam mengatur proses pembebasan lahan di Agrabinta.
Warga menilai, para kepala desa yang semestinya melindungi masyarakat justru berperan sebagai pelaku utama perampasan hak penggarap.
“Kami merasa ditipu. Uang kami dipotong tanpa penjelasan. Katanya untuk rapat dan koordinasi, tapi kami tak tahu uang itu ke mana,” ujar salah seorang warga Desa Mekarsari yang meminta namanya dirahasiakan.
Manipulasi Data dan Rekayasa Peta
Selain potongan dana, muncul pula dugaan rekayasa titik koordinat dan manipulasi data lahan. Beberapa lahan warga yang sebelumnya terpisah kini disatukan dalam satu peta usulan kepada PT Intan — langkah yang diduga dilakukan untuk memperluas klaim agar nilai pembayaran lebih besar dan mudah dikendalikan.
Bahkan, sejumlah warga mengaku data pribadi mereka dipinjam tanpa izin untuk diajukan dalam proyek pembebasan tanah.
“Nama saya digunakan dalam data pembebasan tanah, padahal saya tidak pernah menjual lahan,” ungkap warga Bojong Kaso dengan nada kesal.
Padahal, sesuai peraturan pertanahan, tanah garapan negara tidak dapat diperjualbelikan kepada pihak swasta. Ketentuan ini seharusnya melindungi masyarakat lokal, bukan dijadikan ladang bisnis bagi oknum pejabat desa.
Kehidupan Mewah di Tengah Jeritan Rakyat
Ironisnya, di tengah keresahan warga, sejumlah kepala desa di wilayah Agrabinta justru menunjukkan perubahan gaya hidup mencolok. Beberapa di antaranya kini memiliki mobil baru dan menikmati kemewahan setelah proyek pembebasan tanah dimulai.
“Dulu naik motor bebek, sekarang sudah pakai mobil. Dari mana uangnya kalau bukan dari proyek tanah itu?” sindir seorang warga.
Desakan Aktivis: Usut Tuntas, Jangan Ada yang Kebal Hukum
Ketua Aktivis Pemerhati Masyarakat Cianjur, Mastur, mendesak aparat penegak hukum untuk bertindak cepat.
“Kami akan melaporkan kasus ini ke Ditkrimsus Polda Jawa Barat. Jangan biarkan mafia tanah bermain di atas penderitaan rakyat kecil,” tegasnya.
Ia juga meminta PT Intan menghentikan sementara proses pembayaran dan meninjau ulang data penerima yang terindikasi manipulatif.
“Kalau pembayaran dilakukan di atas data palsu, itu bukan kesalahan administrasi, tapi kejahatan yang merugikan rakyat,” ujarnya.
Harapan Rakyat dan Seruan Keadilan
Masyarakat berharap aparat penegak hukum benar-benar serius mengusut dugaan praktik mafia tanah yang melibatkan oknum kepala desa di Agrabinta. Mereka menuntut keadilan dan pemulihan hak atas tanah garapan yang telah mereka kelola bertahun-tahun.
“Kami hanya ingin keadilan. Tanah ini kami garap sejak lama, jangan dirampas dengan alasan proyek,” ujar warga Desa Bunisari.
Kini, bola panas berada di tangan aparat penegak hukum. Publik menantikan langkah konkret dari Polda Jawa Barat untuk mengungkap skandal pembebasan tanah senilai miliaran rupiah ini — agar keadilan benar-benar berpihak pada rakyat kecil, bukan pada mereka yang bersembunyi di balik jabatan.
Penulis : Gibrandi



























































