Oleh: Dr. Ashiong P. Munthe
Jakarta Barat – Teropongrakyat.co – Rabu (10/9/2025) – Indonesia, sebuah mozaik keberagaman yang terjalin dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, seringkali dihadapkan pada realitas yang kontradiktif. Di satu sisi, ideologi Pancasila dan konstitusi menjamin kesetaraan bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali. Namun, di sisi lain, praktik-praktik diskriminatif, khususnya yang menyangkut hak-hak minoritas, masih menjadi duri dalam daging. Diskriminasi institusional ini dapat ditelusuri pada satu regulasi yang problematis: Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006. Alih-alih menjadi jembatan kerukunan, peraturan ini justru menjelma menjadi tembok birokrasi dan legalisasi bagi tirani mayoritas.
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, yang semula diniatkan untuk mengatur pendirian rumah ibadah, pada praktiknya telah menjadi alat untuk membatasi ruang gerak umat minoritas, terutama Kristen, dalam menjalankan ibadahnya. Persyaratan yang rumit, seperti keharusan mendapatkan persetujuan 90 pengguna rumah ibadah dan 60 warga setempat, seringkali menjadi hambatan yang nyaris mustahil untuk dipenuhi. Hal ini bukan hanya sekadar urusan administratif, melainkan manifestasi dari sebuah ketidaksetaraan struktural yang dilegitimasi oleh negara.
Ironisnya, di tengah tantangan ini, muncul pertanyaan krusial: perlukah Partai Politik Kristen untuk memperjuangkan hak konstitusional umat Kristen dan kesetaraan perekonomian, pembiayaan pendidikan berbasis agama, serta pendirian rumah ibadah? Jawabannya bukan hanya “perlu,” melainkan “sangat mendesak.”
PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 adalah contoh nyata bagaimana sebuah kebijakan yang tujuannya mulia dapat disalahgunakan untuk melanggengkan diskriminasi. Data dari berbagai lembaga hak asasi manusia, seperti Setara Institute dan Persekutuam Gereja-gereja di Indonesia (PGI), menunjukkan tren peningkatan penolakan, penutupan, dan pembubaran gereja. Pada tahun 2021, Setara Institute mencatat 39 kasus pelanggaran kebebasan beragama, di mana mayoritas korbannya adalah umat Kristen. Insiden-insiden seperti penutupan Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Ciketing, Bekasi, dan Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) di Tambora, Jakarta, adalah bukti nyata betapa PBM 2006 menjadi celah bagi intoleransi.
Persyaratan persetujuan yang tertera dalam PBM 2006 secara efektif memberikan hak veto kepada kelompok mayoritas. Dalam praktiknya, kelompok intoleran seringkali memprovokasi sekelompok warga untuk menolak pendirian gereja, bahkan di wilayah di mana umat Kristen merupakan bagian integral dari komunitas. Hal ini menciptakan lingkaran setan: umat Kristen tidak bisa mendapatkan izin karena ditolak sekelompok warga, dan penolakan tersebut seringkali didorong oleh provokasi yang didasarkan pada sentimen agama yang sempit.
Vakumnya representasi politik yang kuat dari komunitas Kristen di tingkat nasional menciptakan ruang hampa di mana suaranya tidak didengar. Isu-isu yang sensitif seperti PBM 2006, yang secara langsung memengaruhi kehidupan sehari-hari umat Kristen, seringkali tidak menjadi agenda prioritas dalam perdebatan politik. Partai-partai yang ada, dengan basis massa yang beragam, cenderung menghindari isu-isu sensitif demi menjaga stabilitas politik dan menghindari potensi konflik. Akibatnya, umat Kristen terpaksa berjuang sendiri, mengandalkan advokasi dari organisasi masyarakat sipil dan lembaga keagamaan, yang sayangnya memiliki keterbatasan dalam mengubah kebijakan dari dalam sistem.
Di sinilah urgensi Partai Politik Kristen menjadi sangat relevan. Sebuah partai yang secara eksplisit memperjuangkan hak-hak umat Kristen dapat menjadi wadah untuk menyalurkan aspirasi, membangun koalisi dengan partai lain, dan mendorong perubahan legislatif. Partai Politik Kristen menjadi instrumen kekuatan yang dapat menekan pemerintah untuk merevisi atau bahkan mencabut PBM 2006. Partai ini bukan hanya sekadar kendaraan politik, melainkan juga jembatan untuk membawa isu-isu minoritas ke ranah kebijakan publik.
Perjuangan untuk hak-hak umat Kristen tidak berhenti pada pendirian rumah ibadah. Isu kesetaraan mencakup ranah yang lebih luas, termasuk ekonomi dan pendidikan. Data dari Kementerian Agama menunjukkan alokasi anggaran untuk pendidikan berbasis agama seringkali tidak seimbang, di mana madrasah mendapatkan porsi yang jauh lebih besar dibandingkan sekolah-sekolah Kristen. Meskipun hal ini dapat dipahami mengingat jumlah madrasah yang lebih banyak, disparitas yang signifikan ini menciptakan ketidaksetaraan dalam kualitas pendidikan.
Demikian pula, dalam sektor ekonomi, diskriminasi dapat terjadi secara halus, misalnya dalam rekrutmen pegawai di lembaga-lembaga pemerintah tertentu, di mana ada preferensi terhadap kelompok agama tertentu. Partai Politik Kristen dapat berperan penting dalam mengadvokasi kebijakan afirmatif untuk memastikan kesetaraan kesempatan bagi umat Kristen dalam berbagai sektor.
Mungkin ada yang berargumen bahwa pembentukan Partai Politik Kristen akan memecah belah bangsa dan memperdalam polarisasi. Kekhawatiran ini, meskipun valid, harus dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. Partai ini tidak bertujuan untuk menciptakan eksklusivitas atau membenci kelompok lain. Sebaliknya, tujuannya adalah untuk memastikan bahwa kelompok minoritas, dalam hal ini umat Kristen, memiliki suara yang setara dan hak-haknya dijamin oleh negara.
Lagipula, keberadaan partai politik berbasis agama lain, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang secara eksplisit memperjuangkan nilai-nilai Islam, tidak dianggap sebagai ancaman bagi persatuan nasional. Dengan demikian, keberadaan partai Kristen harus dilihat posisinya secara sama. Justru, partai-partai berbasis agama, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi sarana untuk menyalurkan aspirasi secara damai dan konstitusional.
Untuk mewujudkan urgensi ini, Partai Politik Kristen harus mengadopsi strategi yang cerdas. Pertama, harus membangun basis massa yang kuat, tidak hanya di kalangan umat Kristen, tetapi juga merangkul kelompok-kelompok moderat dari agama lain yang peduli terhadap isu-isu keadilan dan kesetaraan. Kedua, harus memfokuskan agenda politik pada isu-isu substantif, seperti revisi PBM 2006, alokasi anggaran yang adil, dan perlindungan hak-hak minoritas. Ketiga, harus menjadi kekuatan yang proaktif dalam advokasi, tidak hanya di parlemen, tetapi juga di ruang publik, melalui kampanye kesadaran dan pendidikan.
Pemerintah juga harus mengambil langkah-langkah proaktif. Revisi PBM 2006 adalah sebuah keharusan. Negara tidak boleh membiarkan diskriminasi bersembunyi di balik aturan. Pemerintah harus memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa memandang agama, memiliki hak yang sama untuk menjalankan ibadahnya dan mengakses layanan publik.
Pembentukan Partai Politik Kristen bukanlah sebuah langkah mundur, melainkan sebuah lompatan maju menuju Indonesia yang lebih adil dan setara. Partai ini bukan hanya untuk orang Kristen, tetapi untuk seluruh bangsa Indonesia, karena keadilan bagi satu kelompok adalah keadilan bagi semua. Keterwakilan politik yang setara adalah prasyarat bagi demokrasi yang sehat. Tanpa representasi yang kuat, suara minoritas akan terus-menerus tenggelam dalam kebisingan politik mayoritas.
Ini adalah panggilan bagi seluruh umat Kristen di Indonesia untuk bersatu dan mengambil peran aktif dalam politik, bukan hanya sebagai pemilih, tetapi juga sebagai agen perubahan. Ini adalah panggilan bagi pemerintah untuk berani merevisi kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dan menegakkan konstitusi. Dan ini adalah panggilan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk merangkul keberagaman, bukan sebagai sumber perpecahan, melainkan sebagai sumber kekuatan.
Masa depan Indonesia yang seutuhnya terletak pada kemampuannya untuk melindungi yang lemah, mendengarkan yang minoritas, dan memastikan bahwa setiap warga negara, tanpa terkecuali, dapat hidup dengan damai dan martabat. Urgensi Partai Politik Kristen adalah manifestasi dari harapan tersebut. Sebuah harapan bahwa Indonesia yang seutuhnya bukanlah sebuah utopia, melainkan sebuah realitas yang dapat kita raih bersama.
Penulis: Dosen STT Berita Hidup, STT IKAT Jakarta, UMN dan UBM. Departemen Litbang PEWARNA Indonesia.