Oleh: Johan Sopaheluwakan, S.Pd., C.EJ., C.BJ.
Jakarta Barat – Teropongrakyat.co – Selasa (16/9/2025) -;Di tengah gemuruh janji kemandirian energi dan pemerataan listrik, sebuah fakta mencengangkan muncul dari jantung BUMN strategis kita, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Angka-angka yang terkuak bukan sekadar statistik, melainkan cermin buram tata kelola yang mengkhawatirkan, sebuah ironi pahit yang menusuk rasa keadilan publik.
Bagaimana mungkin sebuah entitas vital yang melayani hajat hidup orang banyak, justru terjerat utang yang membengkak Rp 156 Miliar setiap hari, hingga menembus angka fantastis Rp 700 Triliun, sementara para direksinya menikmati gaji bulanan Rp 277 Juta ditambah bonus miliaran rupiah? Ini bukan lagi sekadar kritik, ini adalah seruan darurat!
Utang PLN yang mencapai 700 triliun rupiah bukanlah angka main-main. Ini adalah beban kolosal yang pada akhirnya akan ditanggung oleh rakyat, baik melalui subsidi yang terus dikucurkan dari APBN – yang notabene adalah uang pajak kita – maupun potensi kenaikan tarif listrik di masa mendatang. Bayangkan, setiap hari, entitas ini menumpuk kewajiban baru sebesar Rp 156 Miliar.
Ini adalah laju defisit yang tak masuk akal, mengancam stabilitas keuangan negara dan masa depan energi nasional. Pertanyaan besar menggantung: ke mana saja dana sebesar itu mengalir? Dan mengapa, di tengah krisis finansial yang begitu akut, pimpinan perusahaan justru hidup dalam kemewahan yang tak terjangkau akal sehat?
Kontras antara kondisi keuangan perusahaan dan kesejahteraan direksi adalah tamparan keras bagi nurani publik. Gaji Rp 277 Juta per bulan, ditambah bonus miliaran rupiah, di tengah lautan utang yang terus menggunung, adalah bentuk keangkuhan yang tak termaafkan. Ini bukan lagi soal insentif kinerja, melainkan indikasi kuat adanya disonansi moral dan prioritas yang keliru.
Di saat rakyat berjuang memenuhi kebutuhan dasar, di saat UMKM menjerit karena biaya operasional, dan di saat negara harus berhemat di segala lini, para petinggi PLN justru berpesta pora di atas penderitaan finansial perusahaan yang mereka pimpin.
Kondisi ini menuntut audit menyeluruh dan pertanggungjawaban yang transparan. Rakyat berhak tahu, apa yang sebenarnya terjadi di balik tirai manajemen PLN. Apakah utang ini murni karena investasi strategis yang tak terhindarkan, ataukah ada inefisiensi, salah urus, atau bahkan praktik-praktik yang merugikan?
Lebih dari itu, sistem penggajian dan bonus direksi BUMN harus dievaluasi ulang secara drastis. Prinsip keadilan dan akuntabilitas harus ditegakkan. Tidak ada lagi ruang bagi kemewahan di tengah krisis, tidak ada lagi toleransi bagi direksi yang menikmati gaji fantastis sementara perusahaan yang mereka pimpin terhuyung-huyung dalam lilitan utang.
Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas. Jangan biarkan PLN menjadi bom waktu finansial yang setiap hari terus menghitung mundur. Hentikan pemborosan, pangkas biaya yang tidak perlu, dan yang terpenting, pastikan setiap rupiah yang dikeluarkan dan setiap utang yang diambil benar-benar untuk kepentingan rakyat dan kemajuan energi nasional, bukan untuk memperkaya segelintir individu di pucuk pimpinan. Rakyat sudah terlalu lama menanggung beban, jangan ditambah lagi dengan ironi kemewahan di tengah lilitan utang yang tak berkesudahan!
Penulis adalah Ketua PEWARNA Indonesia Provinsi DKI Jakarta Masa Bakti 2025-2030.
Mahasiswa S-1 Ilmu Hukum pada Fakuktas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPBJJ UT Jakarta.
Magister Pendidikan STTI Philadelphia, Banten