Daoed Joesoef

- Jurnalis

Selasa, 12 November 2024 - 10:58 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta – TeropongRakyat.co || Di sudut ruangan,di dinding rumah Daoed Joesoef ada sebuah lukisan: pantai yang kosong, dengan gelombang bergulung-gulung dari kaki langit. Jika kita simak, buih ombak yang memecah sepanjang pesisir itu membentuk sebuah kaligrafi Arab. Laut seakan-akan mengucapkan kalimat syahadat.

Lukisan itu karyanya sendiri. Daoed Joesoef, yang di masa muda pernah hidup antara lain dengan menggambar poster film, bukan pelukis dengan sapuan kuas yang spontan. Ia lebih seorang perancang bentuk ketimbang seorang yang ekspresif; kanvasnya lebih digerakkan gagasan. Kalimat kaligrafi itu merupakan statemennya, ” ia muslim,  ia membaca alam sebagai tanda-tanda Allah”.

Di tahun 1978-1983, ketika ia menteri pendidikan & kebudayaan dalam kabinet Suharto, orang tak melihatnya sebagai muslim dengan acuan yang lazim di pesantren. Ia dikenal sebagai menteri yang melarang anak perempuan memakai jilbab di sekolah negeri.

ADVERTISEMENT

Daoed Joesoef - Teropong Rakyat

SCROLL TO RESUME CONTENT

Mereka bilang, “ia “anti-Islam“.

Saya ragu. Lukisan di rumahnya itu menunjukkan, keyakinan Islamnya kuat, tapi sifatnya privat, tak hendak dibawa-bawanya sebagai label, apalagi dalam tugas kenegaraan.

Mungkin ia mengagumi ide laïcité dalam konsep kenegaraan Prancis: kekuasaan agama tak boleh mencampuri tugas publik. Daoed menempuh ilmu di Universitas Sorbonne, Paris, selama 13 tahun sejak lulus Fakultas Ekonomi UI di tahun 1959. Ia bangga akan dua gelar doktor yang didapatnya di sana, bangga akan kefasihannya menggunakan “bahasa yang indah” itu — yang membedakannya dari para ekonom segenerasinya seperti Widjojo Nitisastro dan Emil Salim, yang lebih fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Daoed bukan saja ingin mengambil jarak dari mereka, yang entah kenapa ia sikapi sebagai “kubu lawan”. Bila ia menegaskan diri lebih “Prancis”, itu karena ia seorang “francophile”. Lahir di Medan, sejak kecil ia memimpikan Paris, kota yang di tahun 1906 oleh walikota pertama Medan, Daniel Baron Mackay, dijadikan model perencanaan ruang.

Baca Juga:  Makostrad Peringati Nuzulul Qur’an 1446 H/2025 M

Tapi bukan hanya Prancis yang membentuk pandangan Daoed Joesoef.

Ia pengagum Bung Hatta: ekonom, negarawan, Muslim yang taat — dan yang melihat Indonesia tak hanya dibangun orang Islam. Daoed mengikuti jalan pikiran Bung Hatta yang mempersiapkan konstitusi pertama: “Kalau nanti yang diunggulkan di sini hanya satu agama, yaitu Islam, saya khawatir Negara Indonesia akan pecah…”. Itu yang ditulisnya di memoar yang terbit di tahun 2003.

Sejak kecil, ia hidup dengan Indonesia sebagai cita-cita yang tak boleh diciderai.Bapak dan emaknya kenal seorang aktivis dari Jawa yang datang ke wilayah Deli dan hidup di kalangan buruh perkebunan untuk membangun gagasan tentang Indonesia yang tak dijajah. Di awal perang kemerdekaan, dalam usia remaja, Daoed mendaftarkan diri jadi tentara di Sumatra Timur; pangkat terakhirnya letnan.

Ia memang “patriot”. Tapi ia juga seorang kosmopolitan yang yakin bahwa ke-Indonesia-aan akan berkembang subur “dalam taman sarinya internasionalisme”, seperti diidamkan Bung Karno. Daoed memuja emaknya di kampung, tapi ia melampaui lingkaran primordial apapun. Ia seorang rasionalis.

Ia seorang Cartesian, pelanjut pemikiran Descartes. Orang Prancis dari abad ke-17 ini filosof yang taat beragama, tapi tak meletakkan nalar tunduk di bawah iman. Baginya nalar, ratio, ada di samping iman — bahkan jadi dasar iman.

Tampak, dalam persepekif ini ada pembagian yang jelas: nalar dan bukan-nalar. Descartes penganjur pemikiran yang “claire et distinct”: jernih dan tak campur aduk. Dalam cara Daoed Joesoef merumuskan pikirannya, tampak asas Cartesian itu: “claire et distinct.” Kalimatnya terang dan lempang. Semua disampaikannya murni dari gejolak emotif. Tak ada yang abu-abu, kusut, sengkarut.

Baca Juga:  Wali Kota Jakut Bersama Ketua Tim Penggerak PKK Panen Buah Anggur di Area Rooftop Parkir Walikota

Sebagaimana Daoed menarik garis antara kehidupan beragama dan kerja kenegaraan, ia juga memisahkan kehidupan akademik dari gairah politik. Ia seakan-akan menegaskan argumen rasionalis Julien Benda dalam “La trahison des clercs”, yang sering salah ditafsirkan ketika disalin jadi “Pengkhianatan intelektual”. Seorang yang mencari kebenaran sebagai tugas dan panggilan tak boleh mencampurkan pencarian itu dengan nafsu politik dan kekuasaan.

Itu dasar konsepnya tentang “normalisasi kehidupan kampus” (NKK) di tahun 1978.

Daoed Joesoef punya satu analogi: seperti di jalan yang sibuk, untuk kendaraan yang menuju ke arah yang sama, harus ada jalur yang terpisah. Perguruan tinggi, yang dibeayai mahal dengan dana publik, pertama-tama harus melahirkan para terpelajar yang ulung tanpa diganggu kegiatan dan interes lain.

Di sini Daoed Joesoef benar — tapi juga salah. Bukankah hubungan kekuasaan niscaya bersengkarut dengan proses “kebenaran”, apalagi di perguruan tinggi di Indonesia?

Konsep sang Menteri Pendidikan sendiri akhirnya jadi alat penertiban oleh Orde Baru; proses “kebenaran” yang terbuka lumpuh. Pertukatrang fikiran tentang hal-hal yang pokok, khususnya politik, dibayang-bayangi larangan. Ketika perlawanan berlangsung, itu umumnya hanya dalam kelompok-kelompok tertutup, yang akhirnya hanya saling mengukuhkan asumsi, tanpa penajaman nalar dan pembuktian. Sejak itu, kemandegan daya kritis di kampus berlangsung, dari “aliran” apapun. Orang lupa: kerja ilmiah pada dasarnya adalah “politik” pembebasan dari doktrin dan dogma.

Saya kira Daoed Joesoef, yang yakin akan iman dan nalar, akan sedih menyaksikan kampus yang ikut dibangunnya hari ini. Tuhan memanggilnya di saat yang tepat dan waktu yang tepat.

 

Penulis : Romli S.IP

Editor : Romli S.IP

Sumber Berita: Arsip Pribadi / GM

Berita Terkait

TPK Koja Era Baru: Ibu Banu Astrini Gencar Tinjau Lapangan, Prioritaskan Kualitas Layanan
Harhubnas 2025: Pelabuhan Sunda Kelapa Berkomitmen Jadi Pelabuhan Ramah Lingkungan
Kesamaan 17+8 Tuntutan Rakyat dengan Visi Jokowi, Benang Merah tapi Beda Arah
Dr. Frans Pantan, Ketua STT Bethel: Pendidikan Agama Kristen Siap Guncang Indonesia: Transformasi Radikal Menuju Keadilan Sosial!
Lomba Penataan Lingkungan: Dari Rawa Badak Selatan Untuk Indonesia Yang Lebih Hijau 
KSO Terminal Petikemas Koja Luncurkan Program Bimbingan Belajar TEUs Bimbingan Edukasi Siswa Pintar
Intro Coffee Semarakkan HUT RI ke-80 dengan Tribute Iwan Fals dan Semangat Kebangsaan
Seorang Paskibra, Dirinya Memberikan Pesan Kepada Rekan Siswa Pelajar di HUT RI ke 80

Berita Terkait

Sabtu, 13 September 2025 - 12:57 WIB

TPK Koja Era Baru: Ibu Banu Astrini Gencar Tinjau Lapangan, Prioritaskan Kualitas Layanan

Selasa, 9 September 2025 - 12:12 WIB

Harhubnas 2025: Pelabuhan Sunda Kelapa Berkomitmen Jadi Pelabuhan Ramah Lingkungan

Jumat, 5 September 2025 - 22:55 WIB

Kesamaan 17+8 Tuntutan Rakyat dengan Visi Jokowi, Benang Merah tapi Beda Arah

Jumat, 5 September 2025 - 07:15 WIB

Dr. Frans Pantan, Ketua STT Bethel: Pendidikan Agama Kristen Siap Guncang Indonesia: Transformasi Radikal Menuju Keadilan Sosial!

Kamis, 28 Agustus 2025 - 21:12 WIB

Lomba Penataan Lingkungan: Dari Rawa Badak Selatan Untuk Indonesia Yang Lebih Hijau 

Berita Terbaru

Otomotif

Wuling BinguoEV Raih Predikat Mobil Listrik Pilihan Keluarga

Sabtu, 13 Sep 2025 - 21:14 WIB

Breaking News

Narkoba Mengancam Pasar Minggu, Aparat Harus Lebih Serius

Sabtu, 13 Sep 2025 - 17:11 WIB