Oleh: Johan Sopaheluwakan, S.Pd., C.EJ., C.EJ.
Jakarta – Teropongrakyat.co – Di balik seragam dan lencana yang seharusnya melambangkan perlindungan, aparat keamanan justru kerap menjadi sumber ketakutan bagi masyarakat. Insiden demi insiden kekerasan yang melibatkan aparat seolah menjadi bukti bahwa ada masalah serius dalam sistem penegakan hukum di negeri ini. Tragedi terbaru, kendaraan taktis Brimob melindas seorang pengemudi ojek online di depan Gedung DPR RI (28/8/2025), menambah daftar panjang catatan kelam tersebut.
Penyesalan dan permohonan maaf yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tentu patut diapresiasi. Namun, kata-kata saja tidak cukup. Masyarakat menuntut tindakan nyata untuk memastikan kejadian serupa tidak terulang kembali. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, mengapa fasilitas publik yang dibiayai oleh uang rakyat justru menjadi alat yang mencelakai rakyat?
Anggaran miliaran rupiah yang dialokasikan untuk pengadaan kendaraan taktis Brimob seharusnya digunakan untuk melindungi masyarakat, bukan sebaliknya. Insiden ini memicu pertanyaan tentang akuntabilitas dan profesionalisme aparat keamanan. Bagaimana mungkin seorang pengemudi ojek online bisa menjadi korban keganasan kendaraan taktis yang seharusnya digunakan untuk menjaga keamanan negara?
Kita mengapresiasi langkah cepat Kapolri dalam memerintahkan pencarian korban dan investigasi mendalam. Namun, lebih dari itu, kita berharap Kapolri tidak hanya fokus pada penanganan kasus ini, tetapi juga melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pelatihan dan pengawasan aparat keamanan.
Beberapa langkah konkret yang mendesak untuk dilakukan antara lain, investigasi yang transparan dan independen sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, pemberian sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, peningkatan pelatihan tentang penanganan demonstrasi dan penggunaan kendaraan taktis yang aman sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pendidikan dan Pelatihan Polri, serta pengawasan yang lebih ketat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan dalam menghadapi demonstrasi tidak dapat dibenarkan. Data menunjukkan bahwa penggunaan gas air mata, peluru karet, dan kendaraan taktis telah berulang kali menyebabkan luka-luka dan bahkan kematian. Aparat keamanan harus memahami bahwa tugas mereka adalah menjaga keamanan dan ketertiban, bukan menimbulkan kekerasan dan korban jiwa. Prinsip-Prinsip Dasar tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Petugas Penegak Hukum yang dikeluarkan oleh PBB harus menjadi pedoman utama dalam setiap tindakan mereka.
Insiden ini menjadi momentum penting bagi Polri untuk merefleksikan diri dan melakukan perubahan mendasar. Program Presisi (Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan) yang dicanangkan Kapolri harus benar-benar diimplementasikan secara konsisten dan sungguh-sungguh. Masyarakat tidak akan berhenti menuntut keadilan dan perubahan yang lebih baik. Kita akan terus mengkritik dan menuntut perbaikan, sampai aparat keamanan benar-benar menjadi pelindung dan pelayan rakyat, bukan ancaman yang menakutkan.
Penulis adalah :
Ketua PEWARNA Indonesia Provinsi DKI Jakarta Masa Bakti 2025-2030
Pengurus DPP PENA (Penulis dan Editor Indonesia)
Tinggal di Jakarta.