Oleh: Johan Sopaheluwakan, S.Pd., C.EJ., C BJ.
Jakarta – Teropongrakyat.co – 4 September 2025 – Penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka dalam kasus korupsi pengadaan Chromebook senilai hampir 2 triliun rupiah menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan Indonesia. Ironisnya, kasus ini justru menimpa sosok yang selama ini dikenal sebagai motor penggerak digitalisasi pendidikan. Pertanyaannya, mengapa ambisi mulia ini justru berujung pada skandal korupsi yang merugikan negara?
Nadiem Makarim, dengan latar belakang sebagai pengusaha teknologi, membawa angin segar ke Kemendikbudristek. Ia mencanangkan program digitalisasi pendidikan dengan harapan meningkatkan kualitas pembelajaran dan pemerataan akses pendidikan di seluruh pelosok negeri. Chromebook, sebagai perangkat yang relatif murah dan mudah digunakan, dipilih sebagai salah satu solusi untuk mewujudkan visi tersebut.
Namun, di balik ambisi tersebut, terdapat sejumlah kejanggalan yang mengarah pada praktik korupsi. Pertemuan-pertemuan tertutup dengan Google Indonesia, penguncian spesifikasi Chrome OS dalam juknis dan Permendikbud, hingga pengabaian hasil uji coba sebelumnya yang menunjukkan ketidakcocokan Chromebook untuk daerah 3T, menjadi indikasi adanya upaya sistematis untuk mengarahkan proyek pengadaan kepada produk tertentu.
Kasus ini juga membuka pertanyaan mendasar tentang tata kelola dan pengawasan di Kemendikbudristek. Bagaimana mungkin proyek pengadaan dengan nilai fantastis bisa lolos dari pengawasan yang ketat? Mengapa pejabat-pejabat terkait tidak berani bersuara ketika melihat adanya potensi penyimpangan?
Lemahnya tata kelola dan pengawasan ini menjadi celah bagi oknum-oknum tertentu untuk memanfaatkan program digitalisasi pendidikan demi kepentingan pribadi. Akibatnya, tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru ternodai oleh praktik korupsi yang merugikan negara dan masyarakat.
Skandal korupsi Chromebook ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga memiliki implikasi jangka panjang bagi dunia pendidikan Indonesia. Kepercayaan publik terhadap pemerintah dan program-program pendidikan akan menurun. Semangat para guru dan siswa untuk memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran juga bisa terpengaruh.
Selain itu, kasus ini juga menjadi preseden buruk bagi upaya digitalisasi pendidikan di masa depan. Pemerintah harus belajar dari kesalahan ini dan memperbaiki tata kelola serta pengawasan agar program-program pendidikan tidak lagi menjadi lahan korupsi.
Penetapan Nadiem Makarim sebagai tersangka harus menjadi momentum bagi pemerintah untuk berbenah diri. Evaluasi menyeluruh terhadap program digitalisasi pendidikan harus dilakukan. Tata kelola dan pengawasan harus diperketat. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam setiap proyek pengadaan.
Hanya dengan langkah-langkah tersebut, kita dapat memastikan bahwa program digitalisasi pendidikan benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat dan tidak lagi menjadi lahan korupsi yang merugikan negara.
Penulis adalah Pendiri DPP PENA (Dewan Pimpinan Pusat Penulis dan Editor Indonesia) tinggal di Jakarta.