SEMARANG, TeropongRakyat.co – Aroma bobroknya pelayanan publik kembali tercium dari Kabupaten Jepara. Kali ini, sorotan tertuju pada Desa Rajekwesi, Kecamatan Mayong, yang diduga menjadi sarang praktik maladministrasi oleh oknum perangkat desa, termasuk kepala desa. Senin, (8/12/2025).
Warga kini mempertanyakan tingkat kepatuhan Pemerintah Desa terhadap standar pelayanan publik yang seharusnya bersifat cepat, adil, dan transparan. Salah satu korban yang berani bersuara adalah Muzaini, perwakilan dari keluarga besar ahli waris almarhum H. Arifin bin Suradi.
Tuntutan keadilan yang disuarakannya tidak lagi berhenti di kantor desa. Kasus ini kini telah naik kelas, masuk ke meja Ombudsman Republik Indonesia (RI) Perwakilan Jawa Tengah sebagai laporan resmi dugaan maladministrasi dan diskriminasi pelayanan publik.
Langkah pelaporan ini diambil setelah Muzaini berulang kali mengalami hambatan tidak masuk akal saat mengurus dokumen penting, mulai dari surat keterangan kematian, surat kehilangan buku nikah, hingga salinan Letter C – dokumen krusial yang menjadi syarat mutlak penetapan ahli waris di Pengadilan Agama.
Pelapor: Hak Administratif Saya Dirampas!
Muzaini menegaskan, pelaporan ini bukan sekadar luapan emosi, melainkan bentuk perlawanan terhadap arogansi birokrasi di tingkat desa.
“Ini bukan persoalan pribadi. Ini soal pelayanan publik yang seharusnya mudah, tapi dipersulit tanpa dasar hukum yang jelas. Saya laporkan ke Ombudsman agar dugaan maladministrasi dan diskriminasi oleh Kepala Desa bisa diperiksa secara terbuka dan objektif,” tegas Muzaini, Senin (08/12/2025).
Ia menyebut pelayanan di Desa Rajekwesi penuh kejanggalan, tidak objektif, serta sarat kepentingan tertentu. Bahkan, beberapa persyaratan yang dibebankan kepadanya dinilai mengada-ada dan tidak tercantum dalam SOP maupun regulasi resmi.
“Saya diminta menghadirkan tanda tangan semua ahli waris dan surat kuasa, padahal persyaratan itu tidak ada dalam aturan manapun. Ini jelas pembatasan hak warga dan bentuk penghambatan administrasi,” tambahnya.
Kondisi ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tapi juga berpotensi melanggar UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mewajibkan kepala desa memberikan pelayanan yang transparan, akuntabel, dan tidak diskriminatif.
Ombudsman Bergerak: Laporan Masuk Tahap Pemeriksaan
Muzaini bersama kerabatnya, Ubaidur Rohman alias Obet, tercatat telah dua kali mendatangi kantor Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah.
Pada kunjungan pertama, laporan dinyatakan belum lengkap secara administrasi dan diminta untuk dilengkapi melalui WhatsApp resmi Ombudsman.
“Baik pak, nanti kami verifikasi dulu dokumen yang bapak kirim. Kami lihat mana yang masuk dalam lingkup pelayanan publik,” tulis admin Ombudsman Jateng, Kamis (27/11).
Sehari setelahnya, Ombudsman mengonfirmasi laporan telah diterima dan dinaikkan untuk disposisi pimpinan.
“Laporan kemarin sudah kami naikkan disposisi pimpinan. Selanjutnya akan masuk proses verifikasi lanjutan,” tulisnya, Jumat (28/11).
Hingga Senin (08/12) dini hari, laporan Muzaini resmi masuk tahap pemeriksaan, menandakan kasus ini tidak dianggap sepele.
“Laporan Pak Muzaini sudah masuk tahap pemeriksaan. Mohon ditunggu update selanjutnya,” lanjut keterangan tertulis dari pihak Ombudsman.
Puspolrindo: Ini Bisa Masuk Penyalahgunaan Wewenang
Kasus ini juga menyita perhatian Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Nasional (Puspolrindo), Yohanes Oci. Ia menyebut sikap kepala desa berpotensi sebagai bentuk kelalaian serius hingga penyalahgunaan wewenang.
“Penolakan dan penghambatan tanpa dasar hukum merupakan indikasi kuat kelalaian administratif. Jika dilakukan dengan sengaja dan berulang, ini bisa masuk kategori penyalahgunaan jabatan,” tegas Yohanes.
Tak hanya itu, ia bahkan menyebut tindakan tersebut dapat mengarah pada bentuk kriminalisasi hak warga atas dokumen resmi.
“Ketika aparat desa sengaja menghambat dokumen legal warga, itu bukan lagi kesalahan teknis. Itu berpotensi menjadi pelanggaran hukum serius, bahkan pidana, jika terbukti ada niat tertentu,” lanjutnya.
Menurut Yohanes, praktik semacam ini adalah contoh buruk tata kelola pemerintahan di tingkat desa yang mencederai prinsip good governance, khususnya pada aspek akuntabilitas, transparansi, dan kepastian hukum.
Ia menegaskan, sesuai UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, warga memiliki hak penuh melaporkan pejabat publik yang diduga melakukan maladministrasi.
Kasus Desa Rajekwesi kini menambah daftar panjang dugaan penyimpangan aparatur desa di Kabupaten Jepara, serta menjadi cermin betapa rapuhnya pelayanan publik di level paling bawah pemerintahan.
Ombudsman RI diharapkan bertindak tegas, objektif, dan transparan agar kasus ini tidak berakhir sebagai laporan mati, serta menjadi pelajaran bagi seluruh aparat desa agar berhenti bermain-main dengan hak rakyat.

























































