Jakarta – TeropongRakyat.co || Apakah Anda pernah mendengar nama “Andi” di awal nama seseorang? Atau mungkin Anda memiliki teman dengan nama yang diawali oleh gelar ini? Di kalangan masyarakat Bugis-Makassar, gelar “Andi” bukanlah sekadar hiasan di depan nama—itu bisa menjadi simbol kebangsawanan, terutama saat dihubungkan dengan nominal Uang Panai’. Bagi sebagian besar masyarakat, apabila seorang perempuan Bugis memiliki gelar “Andi”, maka Uang Panai’ yang harus disiapkan pun harus lebih tinggi dari biasanya.
Namun, di balik tradisi yang telah begitu mendarah daging ini, ada sebuah kenyataan tersembunyi yang mungkin belum banyak diketahui. Gelar “Andi” sebenarnya bukanlah gelar kebangsawanan murni dari tradisi Bugis-Makassar. Lantas, bagaimana gelar ini muncul dan menjadi begitu penting?
Asal-Usul Gelar “Andi” dalam Sejarah Bugis-Makassar
Sejarah mencatat bahwa gelar “Andi” bukan berasal dari dalam adat Bugis-Makassar itu sendiri, melainkan hasil intervensi dari seorang misionaris Belanda di awal abad ke-20. Gelar ini mulai dikenal sekitar 100 tahun yang lalu, serupa dengan pemberian gelar “Haji” bagi umat Islam pada masa kolonial.
Prof. Mattulada, seorang antropolog dari Unhas, menelusuri asal muasal gelar ini pada masa penjajahan Belanda. Di tahun 1930-an, setiap siswa yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat HIS atau sekolah pamong praja, harus menyertakan “stamboom” atau daftar silsilah keluarga bangsawan mereka. Dalam proses ini, gelar “Andi” digunakan untuk mengidentifikasi siswa yang berasal dari keluarga bangsawan, membedakannya dari masyarakat umum.
Kisah seorang tokoh terkenal, Andi Matalatta, mengukuhkan sejarah ini. Pada tahun 1929, saat ia hendak melanjutkan sekolahnya di Openbare Schakelschool Makassar, namanya dibubuhi kata “Andi” di depan. Muhayyang Daeng Ngawing, yang kala itu menjabat sebagai kepala sekolah, menjelaskan bahwa penggunaan gelar ini bertujuan untuk memisahkan keturunan bangsawan dari orang biasa.
Pemberian gelar “Andi” ini pertama kali diperkenalkan oleh B.F. Matthews, seorang misionaris Belanda yang juga kepala sekolah OSVIA. Bersama Colliq Pujie, Matthews adalah pelopor penulisan Sureq I Lagaligo, karya sastra legendaris Bugis-Makassar. Matthews memiliki ambisi besar—ia ingin menerapkan sistem Standen Stelsel di Sulawesi Selatan, seperti yang ada di Jawa. Maka, gelar “Andi” diberikan kepada semua bangsawan terdidik yang nantinya akan dipersiapkan untuk mengisi jabatan penting di pemerintahan kolonial Belanda.
Sejak saat itu, para keturunan bangsawan mulai menyematkan gelar “Andi” di depan nama mereka, dan gelar ini bertahan hingga Indonesia merdeka, menjadi simbol status yang diwariskan turun-temurun.
Strata Sosial dalam Masyarakat Bugis dan Makassar
Sulawesi Selatan dikenal dengan keragaman etnisnya—terdapat suku Bugis, Makassar, Mandar, Toraja, dan Sa’dan. Namun, suku Bugis dan Makassar menjadi mayoritas di wilayah ini, masing-masing dengan sistem strata sosial yang kaya akan tradisi.
Di masyarakat Bugis, terdapat tiga strata sosial utama: Arung (bangsawan tertinggi), Ata (budak yang kini tak lagi berlaku), dan To Maradeka (masyarakat umum). Sementara di suku Makassar, ada empat strata sosial, yaitu Ata, Daeng (kalangan pengusaha), Karaeng (raja atau bangsawan), dan Kare (tokoh religius).
Gelar kebangsawanan yang muncul dari kedua suku ini beragam, antara lain: Arung, Besse, Baso, Daeng, Datu, Karaeng, Opu, Petta, Sombayya, dan Tenri. Semua gelar ini memiliki akar sejarah dan makna yang mendalam, menunjukkan kekayaan budaya dan kebesaran kerajaan di Sulawesi Selatan.
Namun, gelar “Andi” kini menjadi salah satu yang paling dikenali, bukan hanya karena status kebangsawanan yang diwakilinya, tapi juga karena sejarah panjang di balik pembentukannya—sebuah warisan kolonial yang akhirnya melekat kuat dalam identitas budaya Bugis-Makassar.
Sumber: Arsip Nasional Republik Indonesia