
Oleh: Johan Sopaheluwakan, S.Pd., C.EJ., C.BJ.
Jakarta Barat – Teropongrakyat.co – Selasa (16/9/2025) – Dalam lanskap media kontemporer Indonesia, kita menyaksikan fenomena menarik: beberapa entitas pers mulai menunjukkan karakteristik yang semakin mirip dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Mereka tidak hanya melaporkan, tetapi juga mengadvokasi, mengorganisir, dan bahkan berpartisipasi aktif dalam gerakan sosial. Eksistensi pers jenis ini memunculkan pertanyaan krusial tentang independensi, objektivitas, dan peran media dalam masyarakat demokratis, terutama ketika berhadapan dengan demonstrasi atau unjuk rasa.
Permasalahan yang Muncul: Ketika Batas Menjadi Kabur
Permasalahan utama dari fenomena ini adalah kaburnya batas antara fungsi jurnalistik dan fungsi advokasi. Pers tradisional memiliki mandat untuk menyajikan informasi secara objektif, berimbang, dan independen, bertindak sebagai “anjing penjaga” (watchdog) yang mengawasi kekuasaan. Namun, ketika pers mulai mengadopsi model LSM/Ormas, mereka cenderung memiliki agenda perjuangan yang spesifik—misalnya, isu lingkungan, hak asasi manusia, atau antikorupsi.
Hal ini dapat menimbulkan beberapa masalah serius:
1. Hilangnya Objektivitas dan Netralitas: Laporan berita mungkin menjadi bias, lebih fokus pada narasi yang mendukung agenda mereka daripada menyajikan fakta secara utuh dari berbagai perspektif. Ini berpotensi menyesatkan publik dan merusak kepercayaan terhadap media.
2. Konflik Kepentingan: Ketika sebuah organisasi pers juga merupakan aktor advokasi, ada konflik kepentingan inheren. Apakah mereka melaporkan sebuah peristiwa karena nilai berita intrinsiknya, atau karena peristiwa tersebut mendukung tujuan advokasi mereka?
3. Erosi Kepercayaan Publik: Publik mengharapkan pers menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya. Jika pers terlihat sebagai perpanjangan tangan dari kelompok kepentingan tertentu, legitimasi mereka sebagai penjaga kebenaran akan terkikis.
4. Polarisasi Informasi: Media yang berorientasi advokasi cenderung memperkuat pandangan kelompok tertentu dan mengabaikan atau mendiskreditkan pandangan yang berbeda, yang dapat memperdalam polarisasi dalam masyarakat.
Visi, Misi, dan Tujuan Perjuangan: Dari Melaporkan Menjadi Menggerakkan
Visi, misi, dan tujuan perjuangan pers yang mirip LSM/Ormas seringkali berbeda secara fundamental dari pers konvensional.
– Pers Konvensional: Visi umumnya adalah menjadi sumber informasi terdepan, misi adalah mendidik, menginformasikan, dan menghibur, dengan tujuan menjaga akuntabilitas publik dan mempromosikan diskusi rasional.
– Pers Mirip LSM/Ormas: Visi mereka mungkin lebih condong pada “mewujudkan keadilan sosial,” “melindungi lingkungan,” atau “memberantas korupsi.” Misi mereka bukan hanya melaporkan, tetapi juga “membangun kesadaran,” “memobilisasi dukungan,” atau “mendorong perubahan kebijakan.” Tujuan perjuangan mereka adalah hasil konkret dari agenda advokasi, bukan sekadar penyampaian informasi. Mereka seringkali melihat diri mereka sebagai bagian dari gerakan sosial, bukan hanya sebagai pengamat.
Pergeseran ini mengubah peran media dari sekadar cermin realitas menjadi palu yang mencoba membentuk realitas sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini.
Kaitannya dengan Demo/Unjuk Rasa: Amplifikasi dan Mobilisasi
Keterkaitan antara pers yang mirip LSM/Ormas dengan demo/unjuk rasa sangat erat dan multifaset:
1. Amplifikasi Narasi: Media jenis ini seringkali menjadi saluran utama untuk mengamplifikasi narasi dan tuntutan para demonstran. Mereka mungkin memberikan liputan yang sangat simpatik, menyoroti penderitaan atau ketidakadilan yang memicu protes, dan memberikan platform bagi suara-suara marjinal yang mungkin diabaikan oleh media arus utama.
2. Mobilisasi Massa: Dengan agenda advokasi yang jelas, media ini dapat secara tidak langsung (atau bahkan langsung) berkontribusi pada mobilisasi massa. Liputan yang intens dan berpihak dapat membangkitkan emosi publik dan mendorong partisipasi dalam unjuk rasa.
3. Pembingkaian Isu: Mereka berperan aktif dalam membingkai isu-isu yang mendasari demonstrasi. Misalnya, jika isu utamanya adalah kenaikan harga, media ini mungkin membingkainya sebagai kegagalan pemerintah atau eksploitasi korporasi, bukan sekadar dinamika pasar.
4. Partisipasi Aktif: Dalam beberapa kasus ekstrem, anggota dari organisasi pers ini mungkin tidak hanya melaporkan, tetapi juga secara aktif berpartisipasi dalam perencanaan atau pelaksanaan unjuk rasa, yang semakin mengaburkan batas antara jurnalis dan aktivis.
Kesimpulan: Mencari Keseimbangan di Era Disrupsi
Eksistensi pers yang mirip LSM/Ormas adalah cerminan dari disrupsi media dan meningkatnya kebutuhan akan media yang lebih “berpihak” pada isu-isu sosial. Meskipun niat mereka mungkin mulia—untuk memperjuangkan keadilan dan perubahan—implikasinya terhadap integritas jurnalistik dan kepercayaan publik perlu dicermati secara serius.
Penting bagi publik untuk memahami perbedaan antara media yang berfokus pada pelaporan objektif dan media yang berfokus pada advokasi. Demokrasi yang sehat membutuhkan kedua jenis entitas ini: pers yang independen untuk menginformasikan warga, dan LSM/Ormas untuk mengadvokasi perubahan. Namun, ketika satu entitas mencoba menjadi keduanya, risiko kebingungan, bias, dan erosi kepercayaan publik menjadi sangat tinggi. Oleh karena itu, penting bagi setiap entitas untuk secara jelas mengkomunikasikan identitas dan tujuannya kepada publik, sehingga publik dapat menilai informasi yang mereka terima dengan kacamata yang tepat.

Penulis adalah Ketua PEWARNA Indonesia Provinsi DKI Jakarta Masa Bakti 2025-2030

Mahasiswa Ilmu Hukum pada Fakuktas Hukum Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UPBJJ UT Jakarta

Mahasiswa Magister Pendidikan STTI Philadelphia, Banten

























































