Semarang, teropongrakyat.co – Dugaan kasus korupsi dengan modus pengadaan bahan bakar minyak (BBM) fiktif mencuat di lingkungan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana. Praktik ini diduga melibatkan oknum pejabat internal dan dua perusahaan rekanan yang menangani pengadaan solar untuk kegiatan Bidang Operasi dan Pemeliharaan Sumber Daya Air (Opsda) serta Bidang Pelaksanaan Jaringan Sumber Air (PJSA).
Kerugian negara diperkirakan mencapai sekitar Rp1,5 miliar per bulan sejak tahun 2018 hingga 2022, atau berpotensi menembus puluhan miliar rupiah.
Modus “Dikeringkan”: BBM Fiktif, Dokumen Resmi Lengkap
Seorang narasumber investigasi yang mengaku sebagai pelaku sekaligus perantara dalam transaksi tersebut memaparkan, praktik ini bermula dari permintaan BBM oleh dua bidang di BBWS Pemali Juana, yaitu Bidang Opsda dan PJSA.
Setiap kali membutuhkan BBM, kedua bidang tersebut menerbitkan Surat Perintah Kerja (SPK). SPK inilah yang menjadi dasar transfer dana dari BBWS ke rekening dua perusahaan rekanan yang diduga dimiliki oleh pemilik yang sama. Nilai transfer menyesuaikan volume solar yang tercantum dalam SPK.
Namun, dalam praktiknya, pengiriman BBM diduga tidak sesuai dengan dokumen. Dari setiap lima truk tangki yang tercatat dikirim, empat di antaranya diduga fiktif atau kosong dan hanya dipakai sebagai formalitas. Satu tangki yang berisi BBM pun diduga menggunakan dokumen fiktif yang mencatut nama PT Pertamina.
Modus tersebut disebut sebagai “dikeringkan”. Secara administratif, seluruh proses tampak normal karena dilengkapi dokumen resmi seperti surat jalan, invoice, kuitansi, dan laporan pertanggungjawaban. Namun secara fisik, sebagian besar BBM tidak pernah benar-benar dikirim ke lokasi kegiatan.
Dalam beberapa kasus, perusahaan bahkan diduga hanya mengirimkan truk tangki kosong ke lapangan untuk keperluan dokumentasi.
“Truk itu hanya dikirim untuk foto-foto, agar seolah-olah BBM benar-benar diterima dan digunakan untuk kegiatan,” ujar narasumber.
Manipulasi Jenis BBM dan Penggelembungan Nilai
Selain pengiriman fiktif, terdapat pula dugaan manipulasi spesifikasi BBM. Dalam SPK tercatat pengadaan solar HSD industri, namun di lapangan yang dikirim justru biosolar B30 yang harganya jauh lebih murah. Dalam kasus lain, permintaan solar dexlite juga disebut diganti dengan Bio Solar B30.
Perbedaan jenis dan harga ini menjadi celah terjadinya penggelembungan nilai pengadaan. Volume diduga dikurangi, sementara jenis BBM diturunkan dari spesifikasi yang tercantum di dokumen.
“Antara solar industri dan biosolar B30 itu terpaut cukup jauh harganya. Jadi selain volume dikurangi, jenisnya juga diturunkan,” kata sumber tersebut.
Dari perhitungan sementara, praktik ini diduga merugikan negara hingga sekitar Rp1,5 miliar setiap bulan selama kurang lebih enam tahun terakhir.
Dokumen Diduga Dipalsukan, Nama Pertamina Dicatut
Untuk memperkuat laporan pertanggungjawaban, pihak perusahaan rekanan diduga memalsukan berbagai dokumen, di antaranya loading order Pertamina, surat jalan, invoice, surat pengantar pengiriman dari Pertamina, hingga faktur pajak. Seluruh dokumen tersebut disusun agar tampak sah dalam pemeriksaan administrasi.
“Loading order yang mestinya dari Pertamina, ternyata dibuat sendiri oleh pihak PT,” ungkap narasumber.
Narasumber tersebut mengaku masih menyimpan sejumlah bukti berupa foto dokumentasi, surat jalan, hingga dokumen loading order yang diduga palsu dan dipakai untuk melaporkan kegiatan fiktif.
Dugaan Bagi Hasil hingga 85 Persen untuk Oknum Internal
Dalam pengakuannya, sumber investigasi ini menyebut adanya dugaan pembagian hasil dari dana SPK antara oknum pejabat internal BBWS dan perusahaan rekanan.
Sekitar 85 persen dana hasil SPK disebut mengalir ke oknum di lingkungan BBWS Pemali Juana. Sisanya, 15 persen, menjadi jatah perusahaan rekanan. Dari bagian perusahaan, sekitar 10 persen diduga dinikmati manajemen perusahaan, sementara 5 persen mengalir ke perantara di lapangan.
Narasumber yang menjadi perantara menyatakan mengetahui secara rinci pembagian tersebut karena dirinya terlibat langsung dalam praktik itu.
Kasus ini disebut baru mencuat setelah terjadi konflik internal di antara para pelaku.
“Ada ketidakseimbangan pembagian hasil. Karena merasa tidak adil, ada yang akhirnya membongkar praktik ini,” jelasnya.
Seiring mencuatnya persoalan ini, sejumlah pejabat di BBWS Pemali Juana disebut sudah digeser dari jabatan mereka. Langkah itu diduga sebagai upaya penyelamatan diri dan menghindari pemeriksaan lebih lanjut. Namun hingga kini, belum ada penindakan resmi dari aparat penegak hukum.

Pihak BBWS Pemali Juana Enggan Berkomentar
Saat dikonfirmasi, pihak Balai Besar Wilayah Sungai Pemali Juana melalui Kepala Tata Usaha, Muhammad, enggan memberikan penjelasan rinci. Muhammad, yang sebelumnya pernah menjabat Kepala PPNS/Kasubag dan kini menjabat Kabag TU, menyatakan kasus tersebut disebut sudah pernah masuk ke Kejaksaan Tinggi dan
diinformasikan telah “diselesaikan”. Namun, ia menolak menjelaskan bentuk penyelesaian yang dimaksud.
Bahkan, surat klarifikasi dari salah satu lembaga masyarakat terkait kasus itu disebut hanya mendapat balasan yang dinilai mengambang.
Ketika media berupaya meminta konfirmasi langsung kepada para pejabat pengguna anggaran/PPKOM yang diduga terkait, Muhammad hanya menyampaikan bahwa pihaknya akan menghubungi jika para pejabat tersebut bersedia bertemu.
“Saya tidak ada komentar, karena itu ranah jenengan, terima kasih ya atas konfirmasi dan kunjungannya,” ujarnya singkat.
Sikap tertutup ini dinilai bertolak belakang dengan prinsip akuntabilitas penggunaan anggaran negara yang seharusnya dapat diakses publik.
Media Desak Audit Investigasi Menyeluruh
Joko Budi Santoso selaku Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PEKAT-IB Jawa Tengah menyuarakan desakan agar dilakukan audit investigasi menyeluruh terhadap pengadaan BBM jenis solar di BBWS Pemali Juana.
Ia menyoroti penggunaan dokumen Surat Loading Order dan Surat Pengantar Pengiriman atas pengadaan solar yang melibatkan PT. Rizqi Abadi Hartata dan PT. Fortuna Petrostar Energi.
“Ada indikasi keterlibatan pejabat-pejabat operasional. Dari hasil penelusuran kami, nama-nama seperti H, C, H, dan A disebut sebagai pihak yang dulu mengurusi distribusi BBM di beberapa bidang operasional,” terang Joko.
Joko menilai perlu dilakukan audit investigasi terhadap:
Keabsahan Surat Loading Order dan Surat Pengantar Pengiriman yang tercantum atas nama PT Pertamina, termasuk nomor, tanggal, dan nama penerima BBM.
Dokumen surat jalan dari dua perusahaan rekanan, apakah sesuai dengan loading order dan pengantar pengiriman dari Pertamina, termasuk kapasitas truk tangki, nama perusahaan pada tangki, nomor polisi, dan nama sopir.
Tempat penampungan BBM jenis solar di gudang Bidang Opsda dan Bidang PJSA sebagai penerima BBM, apakah sesuai dengan dokumen yang tercatat.
Joko juga meminta dilakukan audit investigasi terhadap pengadaan solar di BBWS Pemali Juana sejak 2015 hingga 2025.
Ia berharap, dengan terungkapnya kasus ini, praktik dugaan korupsi di sektor pengelolaan sumber daya air dapat dihentikan.
Ia menutup dengan harapan bahwa penanganan serius atas kasus ini turut menghapus stigma “Semarang Kaline Banjir” yang selama ini melekat akibat persoalan tata kelola sungai dan infrastruktur yang dinilai tidak optimal.
Penulis : Naim
























































