Teropongrakyat.co
Jakarta || Pernah dengar Dongeng Marsinah? Ataukah justru kamu tak pernah dengan nama itu? Buka matamu. Sudah saatnya kamu tahu.
Marsinah adalah seorang buruh pabrik asal Sidoarjo, Jawa Timur, diduga dibunuh oleh oknum militer pada 8 Mei 1993 silam. Mengapa Marsinah sampai harus dibunuh? Ia meminta perusahaan tempatnya bekerja untuk menaikkan upah buruh, sesuai surat edaran gubernur, namun permintannya ditolak. Marsinah lalu melakukan unjuk rasa bersama rekan lainnya untuk memperjuangkan haknya, namun ternyata harus berakhir naas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
31 Tahun sudah Marsinah pergi dari dunia. Akan tetapi, Marsinah masih hidup dalam diri kita semua. Setiap langkah mereka yang berangkat dan pulang bekerja, diisi Marsinah-Marsinah. Setiap peraturan yang memperjuangkan hak tenaga kerja dan buruh, diisi Marsinah-Marsinah.
Marsinah menelusup menjadi pemikiran-pemikiran, yang terus berkembang di kepala banyak orang. Marsinah dan segala yang dia perjuangkan. Marsinah, sebagaimana waktu yang diabadikan dalam Arloji seperti kata Sapardi, tidak pernah benar-benar pergi. Ia kini telah menjadi abadi.
Dongeng Marsinah
Marsinah buruh pabrik arloji,
mengurus presisi:
merakit jarum, sekrup, dan roda gigi;
waktu memang tak pernah kompromi,
ia sangat cermat dan pasti.
Marsinah itu arloji sejati,
tak lelah berdetak
memintal kefanaan
yang abadi:
“kami ini tak banyak kehendak,
sekedar hidup layak,
sebutir nasi.”
Marsinah, kita tahu, tak bersenjata,
ia hanya suka merebus kata
sampai mendidih,
lalu meluap ke mana-mana.
“Ia suka berpikir,” kata Siapa,
“itu sangat berbahaya.”
Marsinah tak ingin menyulut api,
ia hanya memutar jarum arloji
agar sesuai dengan matahari.
“Ia tahu hakikat waktu,” kata Siapa,
“dan harus dikembalikan
ke asalnya, debu.”
Di hari baik bulan baik,
Marsinah dijemput di rumah tumpangan
untuk suatu perhelatan.
Ia diantar ke rumah Siapa,
ia disekap di ruang pengap,
ia diikat ke kursi;
mereka kira waktu bisa disumpal
agar lenkingan detiknya
tidak kedengaran lagi.
Ia tidak diberi air,
ia tidak diberi nasi;
detik pun gerah
berloncatan ke sana ke mari.
Dalam perhelatan itu,
kepalanya ditetak,
selangkangnya diacak-acak,
dan tubuhnya dibirulebamkan
dengan besi batangan.
Detik pun tergeletak
Marsinah pun abadi.
Di hari baik bulan baik,
tangis tak pantas.
Angin dan debu jalan,
klakson dan asap knalpot,
mengiringkan jenazahnya ke Nganjuk.
Semak-semak yang tak terurus
dan tak pernah ambil peduli,
meregang waktu bersaksi:
Marsinah diseret
dan dicampakkan —
sempurna, sendiri.
Pangeran, apakah sebenarnya
inti kekejaman? Apakah sebenarnya
sumber keserakahan? Apakah sebenarnya
azas kekuasaan? Dan apakah sebenarnya
hakikat kemanusiaan, Pangeran?
Apakah ini? Apakah itu?
Duh Gusti, apakah pula
makna pertanyaan?
“Saya ini Marsinah,
buruh pabrik arloji.
Ini sorga, bukan? Jangan saya diusir
ke dunia lagi; jangan saya dikirim
ke neraka itu lagi.”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia sudah paham maksudnya.)
“apa sebaiknya menggelinding saja
bagai bola sodok,
bagai roda pedati?”
(Malaikat tak suka banyak berkata,
ia biarkan gerbang terbuka.)
“Saya ini Marsinah, saya tak mengenal
wanita berotot,
yang mengepalkan tangan,
yang tampangnya garang
di poster-poster itu;
saya tidak pernah jadi perhatian
dalam upacara, dan tidak tahu
harga sebuah lencana.
(Malaikat tak suka banyak berkata,
tapi lihat, ia seperti terluka.)
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini;
dirabanya denyut nadi kita,
dan diingatkannya
agar belajar memahami
hakikat presisi.
Kita tatap wajahnya
setiap hari pergi dan pulang kerja,
kita rasakan detak-detiknya
di setiap getaran kata.
Marsinah itu arloji sejati,
melingkar di pergelangan
tangan kita ini.