Jakarta, TeropongRakyat.co — Praktik penindakan oleh Bea Cukai Marunda kini memunculkan aroma busuk. Beberapa pedagang rokok ditahan dalam operasi yang diduga tidak sah, tanpa surat perintah penangkapan, tanpa surat penyitaan, dan bahkan tanpa pemberitahuan kepada keluarga. Kamis, (07/08/2025).
Salah satu korban berinisial E, ditahan selama 8 hari tanpa kejelasan status hukum. Ibunya, yang tengah sakit dan menjalani cuci darah rutin, bahkan tidak tahu bahwa anaknya tengah ditahan.
Situasi ini semakin miris ketika muncul pengakuan langsung dari pihak penyidik bea cukai yang terang-terangan menyebut penahanan tersebut bertujuan agar para korban tidak kabur sebelum membayar denda.
Artinya, penahanan dilakukan bukan untuk proses hukum, melainkan untuk menekan agar korban membayar. Dengan alasan pengembangan namun tanpa surat resmi penyidikan. Praktik ini jelas bukan penegakan hukum, tapi sudah mengarah pada penyanderaan sipil.
Pengakuan Mengejutkan Penyidik Bea Cukai Marunda
Redaksi TeropongRakyat.co yang mencoba mengonfirmasi langsung ke lokasi setelah menerima banyak aduan dari masyarakat, berhasil mewawancarai salah satu penyidik Bea Cukai Marunda berinisial H. Dalam wawancara itu, H mengakui bahwa:
“Penahanan ini memang butuh waktu supaya mereka bisa kumpulin uang buat bayar dendanya. Kita gak mau ambil risiko kalau mereka keluar terus ngilang.”
Pernyataan tersebut membuktikan bahwa penahanan dilakukan atas dasar kekhawatiran pribadi petugas, bukan karena proses hukum yang sah.
Ketika redaksi kembali menegaskan apakah ada surat penangkapan yang disampaikan ke pihak keluarga, penyidik H justru memutar jawaban:
“Kami sudah kasih tau ke orang yang ditahan kalau mereka bisa kasih kabar ke keluarganya.”
Artinya jelas — tidak ada surat resmi diserahkan ke keluarga dan proses pemberitahuan sepenuhnya diserahkan ke inisiatif korban. Dalam hukum acara, ini pelanggaran berat. Petugas negara wajib memberikan pemberitahuan resmi dan tertulis kepada pihak keluarga atau kuasa hukum dalam waktu 1×24 jam sejak penahanan.
Sedangkan yang ditahan 7-8 hari kurang lebih. Yang lebih mengejutkan, penyidik H secara tidak langsung mengakui bahwa para korban adalah kasarnya sebagai sandera sampai uang denda dibayarkan.
Dugaan Gratifikasi dan Manipulasi Keuangan: Denda Disetor ke Rekening Tak Wajar
Tak berhenti di situ, dugaan praktik kotor juga muncul dalam mekanisme pembayaran denda bernilai puluhan juta. Pihak keluarga yang hendak menebus korban diarahkan untuk menyetor uang ke rekening BNI atas nama “RPL 019 PDT KPPBC MARUNDA PEMERINTAH“, yang disebut petugas sebagai rekening penitipan sebelum diproses ke kas negara.
Namun pernyataan itu menjadi sangat ganjil, sebab:
Dalam praktik resmi, pembayaran denda wajib dilakukan melalui sistem MPN G3 (Modul Penerimaan Negara) dengan kode billing resmi
Dana langsung masuk ke Rekening Kas Umum Negara (RKUN), bukan rekening kantor Bea Cukai lokal
Lebih parah lagi, kwitansi pembayaran denda hanya berupa coretan Excel, bahkan dalam beberapa kasus hanya tulisan tangan, tanpa stempel atau kode valid penerimaan negara.
“Ini bukan lagi soal administrasi buruk. Ini adalah praktik pengelolaan uang negara yang tidak akuntabel, dan bisa mengarah ke dugaan gratifikasi atau korupsi,” ujar salah satu aktivis hukum yang turut memantau kasus ini.
Hal ini memunculkan pertanyaan besar: Kemana aliran uang tersebut? Apakah uang denda benar-benar masuk ke kas negara? Atau ada oknum yang bermain di balik layar?
Desakan Serius: Bongkar Skandal Bea Cukai Marunda
Masyarakat dan pihak keluarga korban mendesak:
- Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan turun tangan periksa Bea Cukai Marunda
- Komnas HAM dan Ombudsman RI segera investigasi pelanggaran HAM dan prosedur hukum
- Audit forensik terhadap rekening RPL 019 PDT KPPBC MARUNDA dan seluruh bukti pembayaran denda.
Ini Bukan Penegakan Hukum, Ini PENYANDERAAN SIPIL
Jika petugas Bea Cukai bisa seenaknya menahan warga, tanpa surat, tanpa proses hukum, hanya demi memastikan mereka “bayar denda”, maka ini bukan negara hukum—ini negara preman berseragam.
TeropongRakyat.co akan terus mengawal kasus ini sampai tuntas, dan mengingatkan publik bahwa kita semua bisa jadi korban jika negara membiarkan aparat menegakkan hukum dengan cara-cara kriminal.