Jakarta, Teropongrakyat.co – Menjadi wartawan itu bukan perkara mudah. Ia butuh keberanian, integritas, dan kemampuan menjaga etika dalam setiap proses peliputan. Namun sayangnya, di tengah arus cepat informasi dan tuntutan tayang, ada saja oknum jurnalis yang mulai mengabaikan hal paling mendasar dalam profesinya: kode etik. Minggu, (6/7/2025).
Belakangan, makin sering kita jumpai wartawan yang saat konfirmasi ke narasumber justru melontarkan pertanyaan yang bernada tuduhan. Pertanyaan yang tak lagi sekadar kritis, tapi sudah mengarah pada opini yang menghakimi. Parahnya lagi, ketika ditegur, mereka justru berdalih
“Ini cuma pertanyaan, bukan tuduhan.”
“Saya cuma cari keberimbangan.”
“Yang penting saya sudah punya bahan untuk tayang.”
Pola seperti ini sangat berbahaya. Wartawan seharusnya menjadi pengawal informasi yang objektif dan adil, bukan aktor yang menyusun narasi berdasarkan asumsi pribadi.
Prinsip Praduga Tak Bersalah Bukan Sekadar Hiasan
Dalam Pasal 3 Kode Etik Jurnalistik, wartawan diwajibkan untuk tidak mencampuradukkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menjunjung asas praduga tak bersalah. Ini bukan pasal pajangan. Ini adalah fondasi penting agar media tetap menjadi pilar demokrasi — bukan alat penghakiman publik.
Menggiring narasumber dengan pertanyaan penuh asumsi dan nada tuduhan bukanlah bentuk keberanian, tapi justru menunjukan kelemahan seorang wartawan dalam menggali fakta secara etis.
Konfirmasi Bukan Untuk Menjebak
Wawancara atau konfirmasi bukan arena debat, apalagi ruang menjebak narasumber dengan kalimat provokatif. Kalaupun seorang jurnalis punya informasi awal, maka tugasnya adalah mengujinya dengan pertanyaan terbuka dan netral, bukan menantang narasumber untuk “membela diri” atas sesuatu yang belum tentu benar.
Ketika jurnalis lebih sibuk membangun narasi daripada menggali kebenaran, maka berita yang dihasilkan tak lagi membawa manfaat, melainkan memicu kebingungan dan potensi pembunuhan karakter.
Menjaga Marwah Profesi
Menjadi wartawan adalah kehormatan. Tapi kehormatan itu tidak datang dari jumlah berita yang tayang, atau seberapa “panas” judul yang dimuat. Kehormatan seorang jurnalis datang dari caranya menjaga etika, menghormati narasumber, dan menyampaikan kebenaran dengan hati-hati.
Mari kita ingatkan diri kita semua — khususnya para jurnalis muda — bahwa kritis itu wajib, tapi tuduhan itu racun. Jangan samakan suara keras dengan suara benar. Jangan gantikan keberimbangan dengan keberanian semu.
Jika kita ingin profesi ini tetap dipercaya publik, maka cara kita bertanya, cara kita menulis, dan cara kita bersikap, harus mencerminkan nilai yang kita jaga bersama: kebenaran dan keadilan.