Oleh : Rocky A.K
Teropongrakyat.co – Di sebuah kota kecil, pagi selalu dimulai dengan hiruk pikuk jalanan. Di perempatan, seorang polisi lalu lintas berdiri tegak. Seragamnya berkilat diterpa cahaya matahari. Dari jauh, orang-orang sering melihatnya hanya sebagai “aparat” — dingin, tegas, dan penuh aturan.
Namun di balik seragam itu, ia hanyalah manusia biasa. Di rumah, ia seorang ayah yang setiap pagi menyuapi anaknya sebelum berangkat sekolah. Ia pun seorang anak bagi ibunya yang sudah menua, yang selalu mengingatkan agar ia berhati-hati saat bertugas.
Seringkali masyarakat lupa, bahwa polisi bukanlah tembok baja. Mereka punya hati, punya rasa takut, bahkan bisa menangis. Bedanya hanya seragam yang mereka kenakan.
Suatu hari, terjadi keributan di pasar. Beberapa pemuda berteriak, menyalahkan polisi yang datang untuk meredakan suasana. Kata-kata kasar dilempar, seakan semua kesalahan dunia jatuh ke pundak sang aparat.
Polisi itu terdiam. Ia tahu, jika ia membalas dengan emosi, api akan semakin membesar. Ia hanya menunduk, lalu berkata lirih, “Kami ini juga bagian dari kalian. Kami bukan musuh. Kami di sini hanya untuk menjaga agar semuanya tetap utuh.”
Keributan perlahan mereda. Seorang ibu penjual sayur menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia tersadar, tanpa polisi mungkin pasar itu akan kacau setiap hari. Ia lalu berkata, “Maafkan kami, Pak. Kadang kami lupa, kalian juga manusia, sama seperti kami.”
Sejak hari itu, pandangan masyarakat sedikit berubah. Mereka mulai menyadari, bahwa seragam hanyalah kain. Yang ada di dalamnya tetaplah manusia yang butuh dihargai.
Karena sejatinya, polisi adalah masyarakat juga, seharusnya kita jaga bersama. Mereka tidak salah, mereka hanya menjaga.