Oleh : Rocky Abdul Karim
Dunia ini seperti panggung. Di atasnya, para pejabat menari-nari dengan penuh semangat, seolah pertunjukan itu hanya milik mereka. Musik dimainkan, sorak sorai disetel, namun penonton di kursi kayu belakang hanya bisa mengelus dada.
Negara sedang tidak baik-baik saja. Jalan-jalan dipenuhi lubang, perut rakyat makin keroncongan, suara tangis anak-anak bersahut-sahutan dengan berita harga bahan pokok yang melambung. Namun, di panggung itu, mereka tertawa. Mereka berpesta dengan santapan hasil keringat rakyat, dengan anggaran yang dikemas rapi dalam kotak-kotak janji.
“Lihatlah, betapa meriahnya pertunjukan kami,” kata seorang pejabat di atas panggung sambil menebar senyum, seakan lupa bahwa rakyat memilih mereka bukan melalui lotre, melainkan lewat kepercayaan.
Namun apa arti kepercayaan, bila ia dijadikan mainan?
Apa arti suara rakyat, bila hanya menjadi tepuk tangan yang direkam untuk legitimasi panggung?
Di sudut panggung, seorang anak kecil berdiri. Matanya kosong, bajunya kumal. Ia menatap para penari itu, bertanya dalam hati:
Kapan pertunjukan ini berhenti?
Kapan panggung ini berganti dengan kenyataan yang lebih adil?
Namun, panggung tetap ramai. Musik terus berdentum. Para pejabat menari semakin liar, seolah tak peduli bila kursi-kursi penonton mulai kosong satu per satu. Rakyat memilih meninggalkan pertunjukan, karena yang tersisa hanyalah ironi: mereka yang dipilih untuk mewakili, justru lupa siapa yang memberi peran itu.
Dan ketika tirai panggung akhirnya ditutup, yang terdengar hanyalah bisikan getir dari rakyat:
“Negara sedang tidak baik-baik saja, tapi kalian memilih untuk menari di atas luka.”
www.teropongrakyat.co