Sejarah – TeropongRakyat.co || Jejak Sejarah Kerajaan Sunda: Dari Prasasti Hingga Kisah Bujangga Manik
Nama “Sunda” pertama kali tercatat sebagai identitas sebuah kerajaan dalam Prasasti Kebonkopi II yang berasal dari tahun 854 Saka (atau 932 M). Prasasti yang ditulis dalam aksara Kawi dan menggunakan bahasa Melayu ini memuat pesan penting dari Rakryan Juru Pangambat yang berbunyi:
“Ini sabdakalanda Rakryan Juru Pangambat I kawihaji panyaca pasagi marsandeca ~ ba(r) pulihkan hajiri Sunda”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Secara garis besar, prasasti tersebut mengisahkan bagaimana pemerintahan dikembalikan ke tangan raja Sunda.
Selain Prasasti Kebonkopi II, Prasasti Jayabupati juga menyebutkan kerajaan Sunda. Ditemukan di tepi Sungai Cicatih di Cibadak, Sukabumi, prasasti ini ditulis di atas empat batu besar dan terdiri dari 40 baris yang mencatat pendirian sebuah kawasan suci bernama Sanghyang Tapak oleh Raja Jayabhupati pada tahun 1030 M. Tempat suci ini dilindungi dengan ketat oleh kerajaan.
Pada abad ke-15, prasasti berbahan tembaga dari Kebantenan turut memperkuat bukti keberadaan Kerajaan Sunda. Prasasti Kebantenan I (Jayagiri) mencatat perintah Raja Rahyang Niskala Wastu Kancana kepada Susuhunan Pakuan Pajajaran untuk mengelola “dayohan” di Jayagiri dan Sunda Sembawa tanpa memungut pajak dari penduduk, karena mereka menjadi pemeluk Hindu yang menyembah dewa-dewa. Lalu, dalam Prasasti Kebantenan II (Sunda Sembawa I), Sri Baduga Maharaja (1482-1521), raja di Pakuan, menyatakan dukungannya terhadap tanah suci yang didedikasikan untuk wiku atau pendeta, yang harus dipertahankan sebagai tempat ibadah. Prasasti Kebantenan III dan IV juga menekankan peran Sri Baduga Maharaja dalam mendukung pembangunan tempat suci di Sunda Sembawa dan Gunung Samya (sekarang Gunung Rancamaya).
Kehidupan sehari-hari di Kerajaan Sunda pada akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16 tergambarkan dalam Naskah Bujangga Manik. Naskah ini, salah satu karya penting dalam sastra Sunda Kuno, mengisahkan tentang Jaya Pakuan, atau Bujangga Manik, seorang pangeran yang memilih hidup sebagai pertapa Hindu yang taat. Melalui pengembaraannya dari Pakuan Pajajaran ke Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali, naskah ini memuat rincian tempat-tempat, budaya, dan adat istiadat Sunda pada masa itu. Tertulis tanpa pengaruh bahasa Arab dan tanpa adanya jejak Islam, naskah ini diyakini berasal dari periode pra-Islam dan diperkirakan ditulis pada akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16, dengan referensi ke Majapahit, Kesultanan Malaka, dan Kesultanan Demak yang membantu penentuan periodisasi cerita.
Naskah Bujangga Manik menjadi salah satu sumber paling berharga yang melestarikan warisan budaya dan sejarah Sunda yang autentik, memberikan pandangan mendalam tentang masyarakat dan kepercayaan Sunda pada zaman itu.
Penulis : Ruhan
Editor : Romli S.IP
Sumber Berita : Naskah Pujangga Manik/ Perpustakaan Nasional/https://teropongrakyat.co/15838-2/