KABUPATEN JEPARA, TeropongRakyatco – Buruknya pelayanan publik di Kabupaten Jepara kembali tersingkap ke permukaan. Kali ini, sorotan tertuju pada Pemerintah Desa Rajekwesi, Kecamatan Mayong, yang diduga melakukan diskriminasi sekaligus membiarkan praktik maladministrasi terjadi secara terang-terangan. Rabu, (03/12/2025).
Peristiwa ini bukan sekadar persoalan administrasi yang lambat, melainkan potret rapuhnya integritas birokrasi di tingkat desa. Tempat yang seharusnya menjadi garda terdepan pelayanan, justru berubah menjadi tembok penghalang hak warga.
Jika administrasi dasar saja dipermainkan, lalu di mana letak fungsi negara?
Hak Warga Dipersulit, Pelayanan Berubah Jadi Alat Tekanan
Kasus ini dialami oleh Muzaini, perwakilan keluarga besar ahli waris almarhum H. Arifin bin Suradi, bersama Ubaidur Rohman (Obet) dan Nur Ali, adik kandung almarhum.
Sejak 2023, mereka berulang kali mendatangi Kantor Desa Rajekwesi untuk mengurus dokumen dasar seperti:
- Surat keterangan kematian
- Surat kehilangan buku nikah
- Salinan Letter C
Namun, alih-alih dilayani, mereka justru berulang kali ditolak, dipingpong, bahkan dibiarkan tanpa kejelasan.
“Kami cuma minta hak kami sebagai keluarga. Tapi sampai sekarang tidak ada satu pun dokumen yang diberikan. Seperti dipermainkan,” ujar Muzaini kecewa, Senin (01/12/2025).
Mirisnya, ketika Obet mengurus surat kematian ibunya sendiri, prosesnya sangat mudah — cukup mengirim foto KK dan KTP via WhatsApp.
Namun saat mengurus almarhum H. Arifin, prosedur mendadak berubah drastis dan disebut harus ada surat kuasa dari seluruh ahli waris, keputusan yang tidak memiliki dasar regulasi jelas.
“Kalau ibu saya bisa langsung diproses, kenapa paman saya dipersulit? Padahal kami bertiga ini ahli waris sah,” tegas Obet, Selasa (02/12/2025).
Nama Almarhum Berubah, Dokumen Jadi Janggal
Keanehan lain diungkap Nur Ali, adik kandung almarhum. Ia menyebut dalam surat keterangan kematian yang sempat diterimanya, tercantum nama berbeda:
“Di situ tertulis H. Syakur alias H. Ripin bin Suradi. Padahal nama kakak saya H. Arifin bin Suradi. Ini jelas keliru dan sangat merugikan kami,” ungkapnya.
Perbedaan nama ini memicu dugaan adanya manipulasi data atau kelalaian serius, yang berpotensi berdampak pada hak waris, legalitas aset, dan dokumen penting lainnya.
Pejabat Desa Bersikukuh, Warga Justru Tertekan
Sekretaris Desa Rajekwesi, Dien Ilma Mukafa, justru memperkuat hambatan dengan mewajibkan surat kuasa dari seluruh ahli waris, termasuk ahli waris pengganti.
“Harus ada tanda tangan semua ahli waris. Kalau sudah lengkap baru kembali lagi,” ujarnya, Kamis (20/11).
Senada dengan itu, Kepala Desa Rajekwesi, Legimin Ahmad Muslim, bahkan menambahkan bahwa tanda tangan dari seluruh keponakan juga harus disertakan.
“Pokoknya harus ada kuasa dari semua ahli waris tanpa terkecuali,” singkatnya, Jumat (21/11).
Pernyataan ini justru menimbulkan kecurigaan publik:
Apakah pelayanan publik kini ditentukan oleh kehendak pribadi pejabat desa, bukan oleh aturan hukum?
Dugaan Pemalsuan Identitas Menguat, Laporan Mandek di Polres Jepara
Situasi makin pelik setelah muncul dugaan pemalsuan dokumen kependudukan atas nama Nur Rohma, yang tercatat sebagai anak almarhum H. Arifin dalam KK dan akta kelahiran. Padahal, almarhum diketahui tidak memiliki anak kandung.
Kasus tersebut telah dilaporkan ke Polres Jepara dengan nomor: B/89/II/RES.1.9/2024/Reskrim
Namun hingga kini, belum terlihat kejelasan perkembangan hukumnya.
Mandeknya penanganan ini justru menambah tanda tanya besar:
Siapa yang sebenarnya dilindungi?
Puspolrindo: Ini Bukan Kesalahan Biasa, Tapi Cerminan Rusaknya Sistem
Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Pemerintahan Indonesia (Puspolrindo), Yohanes Oci, menilai peristiwa ini sebagai bentuk nyata kegagalan tata kelola pemerintahan desa.
“Pelayanan administrasi adalah kewajiban negara, bukan hadiah. Jika dipersulit, itu berarti ada pelanggaran serius terhadap hak warga,” tegasnya.
Ia menekankan bahwa pelayanan publik tidak boleh bergantung pada kemauan personal pejabat.
“Ketika urusan sederhana dibuat rumit, di situ ada masalah: entah integritas, kompetensi, atau ada kepentingan lain yang bermain.”
Yohanes juga mendesak Ombudsman, Inspektorat Daerah, dan aparat penegak hukum segera turun tangan untuk menyelidiki dugaan penyalahgunaan wewenang di Desa Rajekwesi.
“Kepala desa harus sadar: jabatan adalah amanah, bukan alat untuk mengendalikan hak warga. Negara harus hadir. Sekarang,” tutupnya.
























































