Jakarta ,13 Juli 2025 – teropongrakyat.co — Fenomena sosial yang mengkhawatirkan kini mulai terlihat di tengah masyarakat: ketika seseorang berbuat benar, ia justru mendapat celaan, sementara pelaku kesalahan mendapat pembelaan dan dukungan. Pola ini tidak hanya terjadi dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga terlihat di berbagai lapisan — mulai dari lingkungan keluarga, dunia pendidikan, media sosial, hingga ranah pemerintahan.
Contoh terbaru terjadi di media sosial, saat seorang pemuda yang menegur pengendara motor karena melanggar jalur trotoar justru dihujat oleh warganet. Di sisi lain, pelanggar justru dibela dengan dalih “sedang terburu-buru” atau “jalan terlalu macet”. Fenomena ini menjadi cerminan adanya krisis moral yang melanda sebagian masyarakat.
Sosiolog Universitas Indonesia, Dr. Lina Maharani, mengatakan bahwa kondisi ini dipicu oleh melemahnya nilai-nilai etika dan hilangnya keteladanan. “Ketika masyarakat mulai menormalkan yang salah dan mencurigai yang benar, itu tanda bahwa nilai benar-salah telah kabur dalam persepsi publik,” ujarnya.
Tak hanya di masyarakat, dalam sistem birokrasi pun sering terjadi hal serupa. Whistleblower atau pelapor korupsi acap kali mendapat tekanan, bahkan intimidasi, sementara pelaku korupsi tetap bebas berkeliaran dan dielu-elukan oleh sebagian pihak.
Fenomena ini juga berdampak buruk terhadap generasi muda. Banyak dari mereka yang menjadi ragu untuk bersikap jujur atau membela kebenaran karena takut dikucilkan. “Kalau membela yang benar tapi malah dimusuhi, lama-lama semua orang akan memilih diam,” kata Andi, seorang mahasiswa di Jakarta.
Pemerhati etika publik menyarankan perlunya gerakan moral di berbagai sektor: pendidikan, media, keluarga, dan lembaga negara. Mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai kebenaran menjadi hal yang sangat mendesak.
Jika kondisi ini dibiarkan, bukan tak mungkin masyarakat akan terbiasa hidup dalam kepalsuan, membenarkan yang salah, dan memusuhi kebenaran — sebuah ancaman serius bagi masa depan bangsa.