Jakarta, TeropongRakyat.co – Kegiatan vaksinasi Demam Berdarah (DBD) dengan vaksin Qdenga di SDN Menteng Atas 14, Jalan Minangkabau Dalam No. 15, Menteng Atas, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, kini menuai sorotan tajam. Vaksinasi yang disebut-sebut bekerja sama antara Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) dan Puskesmas Setiabudi ini justru menyisakan banyak kejanggalan — mulai dari transparansi kegiatan, dugaan pemberian uang kepada orang tua siswa, hingga pembatasan kerja jurnalistik. Kamis, (23/10/2025).
Dalam pelaksanaan di lapangan, redaksi TeropongRakyat.co yang hendak meliput kegiatan tersebut justru dihalangi oleh salah satu dokter yang terlibat. Wartawan dilarang mengambil gambar maupun menggali informasi dengan alasan bahwa “kegiatan sudah dikoordinasikan lewat satu pintu” dan “rilis akan diberikan dari atas.”
Sikap seperti ini bukan hanya bentuk arogansi akademik dan birokratis, tetapi juga tamparan keras bagi transparansi publik, apalagi kegiatan ini menyangkut anak-anak sekolah dasar yang menjadi sasaran vaksin.
Ironisnya, pihak sekolah sebenarnya telah memberikan izin kepada wartawan untuk meliput kegiatan di lingkungan sekolah. Kepala sekolah bahkan menyatakan tidak ada larangan peliputan, karena kegiatan dilakukan di area publik yang menjadi bagian dari tanggung jawab sekolah. Namun, izin tersebut justru dimentahkan oleh pihak medis yang datang membawa nama FK UI dan puskesmas, seolah-olah sekolah tidak memiliki kewenangan di wilayahnya sendiri.
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar: mengapa kegiatan yang disebut ilmiah dan resmi justru dilakukan dengan menutup-nutupi kehadiran media?
Lebih ironis lagi, terungkap bahwa orang tua siswa yang bersedia anaknya divaksin menerima uang sebesar Rp350.000. Pihak sekolah menyebut uang itu sebagai pengganti transportasi, namun seorang dokter bernama Alex, yang hadir di lokasi, menyatakan uang tersebut merupakan biaya pemantauan hasil vaksin.
Dua versi berbeda dari dua pihak penyelenggara menimbulkan pertanyaan serius soal transparansi dan motif di balik kegiatan tersebut.
Lebih jauh, pelaksanaan vaksinasi di sekolah dasar juga menyentuh aspek hukum lain, yakni soal penyelenggaraan program kesehatan publik. Jika benar kegiatan ini tidak berada di bawah kendali langsung pemerintah pusat atau Kementerian Kesehatan, maka dapat dikategorikan sebagai kegiatan non-program pemerintah yang seharusnya melalui proses izin, pengawasan etik, serta evaluasi medis yang ketat.
Di tengah krisis kepercayaan publik terhadap banyak program kesehatan, tindakan menutup-nutupi kegiatan publik dan membungkam jurnalis hanya akan memperdalam kecurigaan. Transparansi bukan ancaman — justru menjadi dasar kepercayaan masyarakat terhadap dunia medis.
Sayangnya, dalam kasus ini, yang tampak bukan semangat pengabdian, melainkan sikap eksklusif, tertutup, dan berpotensi melanggar etika profesi.
Jika benar kegiatan ini “sah dan aman”, maka tidak ada alasan untuk menutup pintu informasi. Publik berhak tahu siapa penyelenggara, sumber dana, dan alasan pemberian uang kepada orang tua murid.
Karena di balik jarum vaksin itu, bukan hanya soal imunisasi — tapi juga soal kejujuran, tanggung jawab, dan hak masyarakat untuk tahu.


























































