Apa yang terjadi setelah rasa kecewa kepada politik?
TeropongRakyat.co || Secara kebetulan dan tidak terfikir untuk mendapatkan dari apa yang saya temukan, sebuah anekdot yang dipetik dari Cina abad ke-4 sebelum Masehi, di masa ketika perang berkecamuk selama hampir dua abad—sebuah periode yang dibentuk darah dan ambisi. Dalam era Zhànguó Shídài itu, para penguasa dari tujuh wilayah saling menyerang, dengan ribuan tentara yang direkrut dari anak-anak petani, dengan kesengsaraan yang seakan-akan tanpa akhir. Pada masa itulah muncul para filosof, terutama di kota Lo-yang. Di antaranya Zhuangzi. Anekdot itu mengenai dirinya.
Selama antagonisme politik yang ganas itu, seseorang menjadi filosof karena ia mau tak mau merenungkan apa yang terjadi. Bahkan ia akan berpikir keras mencari jalan keluar—kalaupun ada jalan keluar—dari penderitaan manusia di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah seorang dari mereka yang termasyhur adalah Mèngzî. Ia yakin, sebuah negeri bisa jadi baik bila rajanya berpikir lurus, tak buas dan serakah—dengan cara mendapatkan nasihat yang benar. Mèngzî pun mendatangi istana-istana, sebagai konsultan. Meskipun tak selamanya diterima (ia pernah diusir), penerus Konghucu ini akhirnya hidup dengan kehormatan kerajaan.
Dalam hal Zhuangzi, ceritanya berbeda.
Di sekitar tahun 310 SM, pemikir ini sudah termasyhur dengan tulisannya yang tajam dan cemerlang, paduan antara satire dan perenungan; tapi ia tak hendak datang mendekati raja-raja.
Menurut cerita, Raja Wei dari Negeri Chu mengirim dua pejabat tinggi untuk membujuk agar sang filosof bersedia jadi perdana menteri. Mereka menemui Zhuangzi yang sedang memancing. Tanpa menengok ke arah tamunya, si tuan rumah berkata, “Saya pernah mendengar, di Chu ada seraut kulit penyu yang bertuah. Penyunya telah mati 3.000 tahun yang lalu, dan Baginda menyimpannya di kuil nenek moyang beliau…. Tapi lebih baik mana: kura-kura itu mati dan kulitnya dihormati sedemikian rupa, atau ia hidup dan menyeret ekornya di lumpur?”
Pilihan Zhuangzi jelas. Ia lebih baik menyeret ekornya di lumpur ketimbang hidup dengan kekuasaan yang melibatkan dirinya. Ia ingin bebas. Ada yang mengatakan, dialah anarkis paling awal dalam sejarah.
Setidaknya Zhuangzi melihat, betapa sia-sianya (dan betapa destruktifnya) kekuasaan yang terus-menerus dihimpun. Buat kemegahan? Apa arti kemegahan? Ada perumpamaan sungai dan lautan. Di banjir musim gugur, sungai menuju ke muara dengan arus yang cepat dan congkak, tapi ketika sampai ke samudra yang seperti tak terbatas, ia sadar betapa kecil dirinya. Namun lautan itu juga demikian. Seperti diakuinya kepada sungai: jika dilihat letaknya di alam semesta ini, dirinya hanya secercah.
Dalam sejarah filsafat Cina, Zhuangzi pernah disebut sebagai pembawa “perspektivalisme“: yang kumaksud “hal-ihwal”, juga nilai-nilai, dicerapkan berbeda-beda oleh manusia, tergantung posisi dan sudut pandangnya. Tak ada yang absolut. Saya lebih suka menyebut pemikirannya “kontekstualis”. Sungai dan lautan itu masing-masing tak berdiri sendiri—selalu dalam hubungannya dengan yang lain, selalu dalam sebuah konteks.
Itu juga yang dikatakan Zhuangzi tentang bayang-bayang: “Dengan cahaya dan matahari aku muncul, dengan kegelapan dan malam aku menyingkir. Bukankah aku tergantung pada substansi dari mana aku dilontarkan? Dan substansi itu juga tergantung pada sesuatu yang lain.”
Tergantung pada sesuatu yang lain, itu pula yang berlaku pada legitimasi kekuasaan. “Penguasa turun takhta dalam kondisi yang berbeda-beda, dinasti berlanjut dalam kondisi yang tak sama,” kata Zhuangzi. Dan dalam konteks yang berlainan, si penguasa bisa disebut patriot atau perebut takhta.
Dari sinilah kita tahu, kenapa sang filosof menolak untuk masuk ke kekuasaan—yang seperti ia lihat di masa hidupnya, terbangun dari kerakusan dan kebengisan yang hendak diberi legitimasi. Legitimasi itu berdasarkan apa yang “benar“, bukan yang “salah“. Tapi bagi Zhuangzi, keduanya bukan saling melenyapkan. Alam semesta menghadirkan “yang benar” sebagai partner “yang salah”. Bukannya kita tak tahu dan tak peduli mana yang benar dan mana yang salah, tapi kita perlu meletakkan diri sebagai subyek-dalam-poros.
Poros, dalam metafora Zhuangzi, adalah sesuatu yang stabil dalam pusaran perubahan dan sekaligus jadi penyambung dua bagian yang berlawanan—seperti pada sepasang roda pedati. Pada poros, yang positif dan negatif tak bertabrakan; keduanya “berbaur dalam persatuan yang tak terhingga”.
Di sini Zhuangzi sebenarnya kembali ke pemikiran tradisional Cina yang sudah beratus tahun umurnya: di balik semuanya, ada kesatuan kosmis. Semesta adalah harmoni. Ia memang menolak pemikiran Mo Tzu seratus tahun sebelumnya, yang menghendaki kesatuan—sesuatu yang ditandai kekuasaan, organisasi, dengan tertib hukum. Tapi dalam arti tertentu ia tak jauh dari ajaran Guru Mo: seperti “Mo-isme” ia tak menghendaki politik, karena politik bukanlah kon-sensus, melainkan dis-sensus.
Itu sebabnya Zhuangzi memilih tiadanya tindakan, juga untuk perubahan ke arah hidup yang lebih baik. “Tiadanya tindakan Langit adalah kemurniannya; tiadanya tindakan di Bumi adalah kedamaiannya.”
Bisa dimengerti bila Hui Tzu, seorang filosof sezamannya, berkata kepadanya, “Semua yang kamu ajarkan berpusat pada apa yang tak berguna.”
Benar—tapi Zhuangzi punya jawab. “Hui Tzu,” begitulah ia berkata (kurang-lebihnya), “kamu tak bisa menghargai apa yang tak berguna, sesuatu yang sebenarnya terbentang luas di muka bumi.” Lebih luas ketimbang yang berguna, lebih luas ketimbang politik.
“Sejatinya suwung, sunyi, ketenteraman, tanpa rasa, kebisuan, dan tanpa-laku, itu adalah akar dari semua hal.”
Penulis : Rizky
Editor : Romli S.IP
Sumber Berita : Koleksi Pribadi/GM/https://teropongrakyat.co/hening/