Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka, Ketimpangan Ekonomi Semakin Buruk

- Jurnalis

Minggu, 3 Agustus 2025 - 18:24 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Jakarta – Teropongrakyat.co ||Ketua Dewan Pakar Asprindo, Prof Didin Damanhuri menyatakan kondisi perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja, sama halnya dengan kondisi global, yang dipicu dengan berbagai masalah, seperti kondisi geopolitik hingga tarif yang dikeluarkan Donald Trump.

“Banyak negara lain, yang sebelumnya sepadan dengan Indonesia, yang pada tahun 1970an membangun secara sistematis seperti Korea Selatan, Malaysia, Thailand mulai meninggalkan Indonesia. Korea Selatan saat ini PDB per kapitanya sudah Rp30 ribu, Malaysia sudah Rp14 ribu, dan Thailand sudah Rp8 ribu. Sementara Indonesia masih Rp5 ribu,”kata Prof Didin dalam keterangannya, Minggu (3/8/2025).

Memang, lanjutnya, ukuran PDB per kapita tidak menjadi cermin atas kesejahteraan tetapi merupakan indikator awal kemajuan suatu bangsa.

ADVERTISEMENT

Refleksi 80 Tahun Indonesia Merdeka, Ketimpangan Ekonomi Semakin Buruk - Teropong Rakyat

SCROLL TO RESUME CONTENT

“Indonesia pun mengalami ketertinggalan dalam hal kesejahteraan masyarakat bawah. Tiga negara itu dulu sama, tapi saat ini kondisinya di atas kita. Bisa diukur dari Gini Ratio atau index oligarki Jeffrey Winters. Saat dirilis tahun 2014, index oligarki Indonesia adalah nomor dua terburuk. Bisa saja saat ini Indonesia adalah yang terburuk,”ucapnya.

Sebagai informasi, dalam bukunya “Oligarchy” (2011), Jeffrey Winters juga memaparkan bagaimana stratifikasi kekayaan di Indonesia begitu besar. Jarak kekayaan antara 40 orang terkaya Indonesia dengan GDP rata-rata penduduk Indonesia adalah 1.056.000 kali lipat pada tahun 2024. Angka tersebut sangat besar jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang perbandingannya berjumlah 20.000 kali lipat. Disparitas yang demikian besar tersebut kemudian bertemu dengan realitas politik bahwa kekayaan (wealth) merupakan sumber daya kekuasaan yang sangat kuat dan fleksibel. Konsentrasi kekayaan ini dengan sendirinya mengakibatkan adanya konsentrasi kekuasaan.

Baca Juga:  Diduga Kecamatan Bekasi Utara Lalai Dalam Penerbitan Surat Akte Jual Beli Di Tanah Bersertifikat, Ada Apakah?

“Jadi sudah lah tertinggal, ketimpangannya pun terburuk,”kata Prof Didin.

Lebih lanjut, ia mengasumsikan, jika pertumbuhan rata-rata ekonomi Indonesia paska reformasi adalah 5 persen, maka perlu dipertanyakan siapa yang mendapatkan manfaat dari pertumbuhan yang relatif tinggi tersebut.

“Kenyataannya, dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi itu, hanya banyak dimanfaatkan oleh sekelompok kecil orang, yang kita sebut oligarki itu. Bahkan credit suisse pada tahun 2003 mengeluarkan data, kekayaan 4 orang paling kaya Indonesia setara dengan 100 juta orang Indonesia. Mungkin sekarang lebih parah lagi,”ujarnya.

Sehingga dengan gambaran PDB per kapita tersebut, terlihat bahwa Indonesia telah tertinggal. Yang lebih mudah terlihat, lanjutnya, adalah, kelompok masyarakat kelas bawah saat ini mengalami penurunan daya beli. Sebagai contoh, nilai tukar petani, pekebun, peternak, dan nelayan yang menyentuh di bawah 100.

“Gini Ratio kita yang 0,4, mencerminkan ketimpangan yang buruk. Dan tiga tahun belakangan ini, 10 juta kelas menengah kita menurun ke kelas nyaris miskin. Indikator World Bank juga menunjukkan hal itu. Ya memang tidak selamanya pernyataan World Bank ittu benar. Tapi yang perlu kita cermati adalah pengeluaran 2 Dollar per hari itu, tidak seperti yang BPS nyatakan hanya sekitar 9 persen, ternyata menyentuh hampir 40 persen. Kalau kita menggunakan varietas daya beli, maka 3/4 penduduk Indonesia masuk ke bawah garis kemiskinan,”ujarnya lagi.

Baca Juga:  Hendak Tawuran Belasan Remaja Diamankan Polisi Jakarta Barat, Sajam Hingga Narkoba Di Sita

Hal ini bisa dilihat, dari banyaknya pasar tradisional di daerah yang sepi. Jika kita bandingkan dengan zaman Soeharto, masyarakat bawah itu terjamin sembilan bahan pokoknya dengan harga yang terjangkau. Karena ada strategi swasembada pangan cerdas sejak 1984 hingga akhir masa jabatannya.

“Sementara pasca reformasi, hanya satu atau dua tahun saja, kalau tidak salah pada masa Mentan Anton Apriantono. Dan setelah itu tidak pernah lagi. Terlepas dari tindakan represif hingga pseudo demokrasi, kenyataannya saat Soeharto perekonomian kita yang terbaik sepanjang sejarah. Akses pada perekonomian, industrialisasi berjalan, dan mengalami peningkatan yang bisa dilihat pada pertumbuhan ekonomi yang pernah menyentuh 7,5 hingga 8 persen,” kata Prof Didin diakhir kesempatan tersebut. (red)

Berita Terkait

Puslitbang Polri Laksanakan Penelitian Fungsi Pembinaan dan Operasional di Polsek Kemayoran
Korpolairud Baharkam Polri Lakukan Normalisasi Sekolah Terdampak Lumpur di Padang Pariaman
Temuan BPK RI Jadi Sorotan, LAKI Ingatkan Tanggung Jawab Wali Kota atas Aset Daerah
BRI BO Cibinong Resmikan Jalan Aspal TJSL di Desa Tangkil
98 Resolution Network Salurkan 98 Juta Bencana Banjir Sumatera Melalui PB IDI
Cegah Stunting, Apical Tingkatkan Kesehatan Perempuan di Cilincing-Jakarta Utara
BRILian di Lapangan, Juara di Pelayanan! Semarak Mini Soccer Sambut HUT BRI ke-130
BRI KC Cilegon Hadirkan Solusi Proteksi Finansial untuk Masa Depan Nasabah

Berita Terkait

Rabu, 17 Desember 2025 - 19:35 WIB

Puslitbang Polri Laksanakan Penelitian Fungsi Pembinaan dan Operasional di Polsek Kemayoran

Rabu, 17 Desember 2025 - 19:26 WIB

Korpolairud Baharkam Polri Lakukan Normalisasi Sekolah Terdampak Lumpur di Padang Pariaman

Rabu, 17 Desember 2025 - 15:18 WIB

BRI BO Cibinong Resmikan Jalan Aspal TJSL di Desa Tangkil

Rabu, 17 Desember 2025 - 14:43 WIB

98 Resolution Network Salurkan 98 Juta Bencana Banjir Sumatera Melalui PB IDI

Rabu, 17 Desember 2025 - 13:36 WIB

Cegah Stunting, Apical Tingkatkan Kesehatan Perempuan di Cilincing-Jakarta Utara

Berita Terbaru